A. Ketetapan
Hukum Puasa di dalam Islam
1. Kewajiban
Puasa Atas Kaum Muslimin Sebelum adanya Puasa Ramadhan
Para
Mufassir mengatakan bahwa puasa yang difardhukan kepada kaum muslimin hanya
dalam beberapa hari (bulan Ramadhan) itu. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu
‘Abbas dan Al-Hasan.
Menurut
Qatadah dan ‘Atha, bahwa dahulu yang difardhukan kepada kaum muslimin adalah
puasa tiga hari setiap bulan, kemudian difardhukan kepada mereka puasa
Ramadhan.
Jumhur
Ulama menguatkan pendapatnya dengan mengemukakan dalil dalam QS.
Al-Baqarah:183, yang mengandung kemungkinan bahwa puasa itu sehari, dua hari
atau lebih dari itu. Kemudian Allah SWT menerangkan dengan firman-Nya: “Syahru
Ramadhaana”. Firman Allah ini merupakan alasan yang jelas bahwa puasa yang
difardhukan kaum muslimin adalah puasa pada bulan Ramadhan.
2. Penyakit
dan Perjalanan yang Membolehkan Orang Berbuka Puasa
Dalam
puasa di bulan Ramadhan, Islam memberikan rukhsah (keringanan) untuk berbuka
bagi orang yang sedang sakit keras dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan
jauh (musafir), tetapi harus mengganti pada hari-hari lain sejumlah hari yang
ditinggalkan.
Para Fuqaha telah
berbeda pendapat mengenai penyakit dan perjalanan yang membolehkan orang
berbuka. Di antara pendapat mereka, antara lain:
a. Ahluzh
Zhahir (golongan Zhahiriyah) berpendapat bahwa penyakit dan perjalanan secara
mutlak (tanpa batasan) membolehkan orang berbuka, walaupun perjalanan itu dekat
dan penyakit itu ringan. Pendapat ini diriwayatkan dari ‘Atha’ dan Ibnu Sirin.
b. Sebagian
ulama menyatakan bahwa rukhsah (keringanan) ini hanya dikhususkan bagi orang
sakit yang jika berpuasa, ia akan jatuh dalam kesulitan dan kepayahan, dan juga
bagi orang yang sedang dalam perjalanan yang memberatkannya. Pendapat ini
adalah pendapat Al-Asham.
c. Kebanyakan
Fuqaha berpendapat bahwa penyakit yang membolehkan orang berbuka adalah
penyakit parah yang apabila berpuasa membahayakan jiwa dan bertambah sakit. Dan
perjalanan yang membolehkan orang berbuka adalah perjalanan jauh yang pada
umumnya menyebabkan orang mengalami kesulitan. Pendapat ini adalah pendapat
Imam mazhab yang empat.
Musyaqqah (keberatan) yang ada pada
puasa bagi musafir akan lebih baik, dibandingkan dengan musyaqqah berpuasa
ketika mukim.
3. Keutamaan
Antara Berpuasa dan Berbuka
Abu
Hanifah, Asy-Syafi’i dan Malik berpendapat bahwa berpuasa adalah lebih utama
bagi orang yang kuat melakukannya. Dan bagi orang yang tidak kuat berpuasa,
yang lebih utama baginya adalah berbuka.
Ahmad
r.a berpendapat bahwa berbuka adalah lebih utama, karena mengambil rukhsah.
‘Umar
bin Abdul ‘Aziz r.a, berpendapat bahwa yang lebih utama di antara ke duanya
adalah mana yang lebih mudah bagi seseorang.
4. Menqadha
Puasa yang Di lakukan Secara Berturut-turut
‘Ali,
Ibnu ‘Umar dan Asy-Sya’bi berpendapat bahwa orang yang berbuka karena sesuatu
halangan, seperti sakit atau bepergian, harus menqadha (mengganti puasanya pada
hari lain) secara berturut-turut.
Jumhur
Fuqaha berpendapat bahwa dalam menqadha puasa, boleh dengan cara bagaimanapun,
berselang-selang atau berturut-turut.
5. Hukum
Berpuasa Bagi Wanita Hamil dan Wanita Menyusui
Abu
Hanifah berpendapat bahwa yang wajib bagi ke dua wanita tersebut adalah
menqadha saja. Sedangkan Asy-Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa ke duanya
wajib menqadha dan membayar fidyah.
Para
Fuqaha berpendapat bahwa, wanita hamil dan wanita yang menyusui, apabila ke
duanya mengkhawatirkan dirinya sendiri dan anaknya, maka ke duanya boleh
berbuka, karena hukumnya seperti hukum orang yang sakit.
6. Cara
Menetapkan Puasa Pada Bulan Ramadhan
Imam
Malik berkata: “Penetapan hilal bulan Ramadhan harus dengan kesaksian dua orang
laki-laki yang adil. Karena hal tersebut merupakan kesaksian dan hal tersebut
menyerupai penetapan hilal bulan Syawal, yang mana paling sedikitnya itu harus
dengan kesaksian dua orang”.
At-Turmudzi
berkata: “Dalam praktek, menurut mayoritas ahli ilmu, dalam menetapkan puasa
dapat diterima kesaksian satu orang”.
Ad-Daruquthni
meriwayatkan bahwa, seorang laki-laki memberikan kesaksian kepada ‘Ali bin Abi
Thalib bahwa ia melihat hilal bulan Ramadhan, maka dia berpuasa dan
memerintahkan orang-orang supaya berpuasa.
7. Hukum
Orang yang Berbuka Puasa Karena Khilaf
Jumhur
Ulama berpendapat bahwa, orang yang berbuka karena khilaf, maka wajib menqadha
puasanya. Karena yang dituntut dari orang yang berpuasa adalah kepastian. Allah
SWT memerintahkan agar menyempurnakan puasa sampai matahari terbenam. Maka
apabila timbul hal yang menyelisihi ketentuan ini, wajiblah menqadha puasa
tersebut.
Ahluzh
Zhahir dan Al-Hasanul Bashri berpendapat bahwa, puasa orang tersebut hukumnya
sah dan tidak ada kewajiban qadha atasnya. Dan mereka berkata: “orang yang
berbuka karena khilaf itu seperti orang yang lupa. Puasanya tidak batal”.
8. Persoalan
Janabat yang Menyebabkan Sah Tidaknya Puasa
Dalam
Al-Quran dikatakan bahwa, janabat itu tidak menyebabkan tidak sahnya puasa,
karena dalam puasa ada kebolehan makan, minum dan berjimak (bersendawa) dari
awal hingga akhir malam. Sementara diketahui bahwa orang yang melakukan jimak
pada akhir malam, apabila selesainya perbuatan itu mendekati terbit fajar,
berarti ia memasuki pagi hari dalam keadaan junub. Hal ini menunjukkan bahwa
puasa orang tersebut sah hukumnya.
Sedangkan
dalam Shahih Al-Bukhari dan Sahih Muslim diriwayatkan sebuah hadis dari Aisyah
r.a, yang artinya “Bahwasanya Nabi SAW pernah junub, padahal beliau berpuasa,
kemudian beliau mandi”.
Dengan demikian,
janabat itu tidak mempunyai pengaruh terhadap puasa dan orang wajib mandi
apabila hendak shalat.
B. Hikmah
di Syariatkannya Puasa
Hikmah-hikmah
disyariatkannya puasa, antara lain:
1. Puasa
merupakan ibadah karena Allah, ketundukan terhadap perintah-perintah-Nya dan
pemeliharaan diri dari larangan-larangan-Nya.
2. Mendidik
jiwa dan membiasakannya untuk bersikap sabar dan tabah ketika menanggung
kesulitan dalam menjalankan agama Allah SWT.
3. Puasa
mendidik rasa cinta, belas kasih dan penyantun yang ada dalam diri manusia dan
dari pendidikan puasa itu akan lahir manusia-manusia yang lembut hatinya dan
baik jiwanya.
4. Puasa
mendidik jiwa manusia dengan menanamkan perasaan takut kepada Allah yang Maha
Agung lagi Maha Tinggi dan takut kepada-Nya, baik di tempat tersembunyi maupun
di tempat ramai, serta menjadikannya manusia yang bertakwa, yang menjauhkan
diri dari segala yang dilarang oleh Allah SWT.
[1] Drs. H. Abdur Rachim dan Drs. Fathony, Syariat Islam,
(Yogyakarta: Rektor UIN Sunan Kalijaga, 1986), hlm 208
[2] Yusuf Qardhawi, Konsep Ibadah Dalam Islam, (Surabaya: Central
Media, 1991), hlm 187
[3] Syeikh ‘izzuddin Ibnu Abdis Salam, Kaidah-Kaidah Hukum Islam,
(Bandung: Nusa Media, 2011), hlm 346
[4] Drs. H. Abdur Rachim dan Drs. Fathony, Syariat Islam,
(Yogyakarta: Rektor UIN Sunan Kalijaga, 1986), hlm 230
[5] Drs. H. Abdur Rachim dan Drs. Fathony, Syariat Islam,
(Yogyakarta: Rektor UIN Sunan Kalijaga, 1986), hlm 238
Tidak ada komentar:
Posting Komentar