Kamis, 28 Mei 2015

Ikhtilaf Puasa



A.    Ketetapan Hukum Puasa di dalam Islam
1.      Kewajiban Puasa Atas Kaum Muslimin Sebelum adanya Puasa Ramadhan
Para Mufassir mengatakan bahwa puasa yang difardhukan kepada kaum muslimin hanya dalam beberapa hari (bulan Ramadhan) itu. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan Al-Hasan.
Menurut Qatadah dan ‘Atha, bahwa dahulu yang difardhukan kepada kaum muslimin adalah puasa tiga hari setiap bulan, kemudian difardhukan kepada mereka puasa Ramadhan.
Jumhur Ulama menguatkan pendapatnya dengan mengemukakan dalil dalam QS. Al-Baqarah:183, yang mengandung kemungkinan bahwa puasa itu sehari, dua hari atau lebih dari itu. Kemudian Allah SWT menerangkan dengan firman-Nya: “Syahru Ramadhaana”. Firman Allah ini merupakan alasan yang jelas bahwa puasa yang difardhukan kaum muslimin adalah puasa pada bulan Ramadhan.
2.      Penyakit dan Perjalanan yang Membolehkan Orang Berbuka Puasa
Dalam puasa di bulan Ramadhan, Islam memberikan rukhsah (keringanan) untuk berbuka bagi orang yang sedang sakit keras dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan jauh (musafir), tetapi harus mengganti pada hari-hari lain sejumlah hari yang ditinggalkan.
Para Fuqaha telah berbeda pendapat mengenai penyakit dan perjalanan yang membolehkan orang berbuka. Di antara pendapat mereka, antara lain:
a.       Ahluzh Zhahir (golongan Zhahiriyah) berpendapat bahwa penyakit dan perjalanan secara mutlak (tanpa batasan) membolehkan orang berbuka, walaupun perjalanan itu dekat dan penyakit itu ringan. Pendapat ini diriwayatkan dari ‘Atha’ dan Ibnu Sirin.
b.      Sebagian ulama menyatakan bahwa rukhsah (keringanan) ini hanya dikhususkan bagi orang sakit yang jika berpuasa, ia akan jatuh dalam kesulitan dan kepayahan, dan juga bagi orang yang sedang dalam perjalanan yang memberatkannya. Pendapat ini adalah pendapat Al-Asham.
c.       Kebanyakan Fuqaha berpendapat bahwa penyakit yang membolehkan orang berbuka adalah penyakit parah yang apabila berpuasa membahayakan jiwa dan bertambah sakit. Dan perjalanan yang membolehkan orang berbuka adalah perjalanan jauh yang pada umumnya menyebabkan orang mengalami kesulitan. Pendapat ini adalah pendapat Imam mazhab yang empat.
Musyaqqah (keberatan) yang ada pada puasa bagi musafir akan lebih baik, dibandingkan dengan musyaqqah berpuasa ketika mukim.
3.      Keutamaan Antara Berpuasa dan Berbuka
Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan Malik berpendapat bahwa berpuasa adalah lebih utama bagi orang yang kuat melakukannya. Dan bagi orang yang tidak kuat berpuasa, yang lebih utama baginya adalah berbuka.
Ahmad r.a berpendapat bahwa berbuka adalah lebih utama, karena mengambil rukhsah.
‘Umar bin Abdul ‘Aziz r.a, berpendapat bahwa yang lebih utama di antara ke duanya adalah mana yang lebih mudah bagi seseorang.
4.      Menqadha Puasa yang Di lakukan Secara Berturut-turut
‘Ali, Ibnu ‘Umar dan Asy-Sya’bi berpendapat bahwa orang yang berbuka karena sesuatu halangan, seperti sakit atau bepergian, harus menqadha (mengganti puasanya pada hari lain) secara berturut-turut.
Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa dalam menqadha puasa, boleh dengan cara bagaimanapun, berselang-selang atau berturut-turut.
5.      Hukum Berpuasa Bagi Wanita Hamil dan Wanita Menyusui
Abu Hanifah berpendapat bahwa yang wajib bagi ke dua wanita tersebut adalah menqadha saja. Sedangkan Asy-Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa ke duanya wajib menqadha dan membayar fidyah.
Para Fuqaha berpendapat bahwa, wanita hamil dan wanita yang menyusui, apabila ke duanya mengkhawatirkan dirinya sendiri dan anaknya, maka ke duanya boleh berbuka, karena hukumnya seperti hukum orang yang sakit.
6.      Cara Menetapkan Puasa Pada Bulan Ramadhan
Imam Malik berkata: “Penetapan hilal bulan Ramadhan harus dengan kesaksian dua orang laki-laki yang adil. Karena hal tersebut merupakan kesaksian dan hal tersebut menyerupai penetapan hilal bulan Syawal, yang mana paling sedikitnya itu harus dengan kesaksian dua orang”.
At-Turmudzi berkata: “Dalam praktek, menurut mayoritas ahli ilmu, dalam menetapkan puasa dapat diterima kesaksian satu orang”.
Ad-Daruquthni meriwayatkan bahwa, seorang laki-laki memberikan kesaksian kepada ‘Ali bin Abi Thalib bahwa ia melihat hilal bulan Ramadhan, maka dia berpuasa dan memerintahkan orang-orang supaya berpuasa.
7.      Hukum Orang yang Berbuka Puasa Karena Khilaf
Jumhur Ulama berpendapat bahwa, orang yang berbuka karena khilaf, maka wajib menqadha puasanya. Karena yang dituntut dari orang yang berpuasa adalah kepastian. Allah SWT memerintahkan agar menyempurnakan puasa sampai matahari terbenam. Maka apabila timbul hal yang menyelisihi ketentuan ini, wajiblah menqadha puasa tersebut.
Ahluzh Zhahir dan Al-Hasanul Bashri berpendapat bahwa, puasa orang tersebut hukumnya sah dan tidak ada kewajiban qadha atasnya. Dan mereka berkata: “orang yang berbuka karena khilaf itu seperti orang yang lupa. Puasanya tidak batal”.
8.      Persoalan Janabat yang Menyebabkan Sah Tidaknya Puasa
Dalam Al-Quran dikatakan bahwa, janabat itu tidak menyebabkan tidak sahnya puasa, karena dalam puasa ada kebolehan makan, minum dan berjimak (bersendawa) dari awal hingga akhir malam. Sementara diketahui bahwa orang yang melakukan jimak pada akhir malam, apabila selesainya perbuatan itu mendekati terbit fajar, berarti ia memasuki pagi hari dalam keadaan junub. Hal ini menunjukkan bahwa puasa orang tersebut sah hukumnya.
Sedangkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Sahih Muslim diriwayatkan sebuah hadis dari Aisyah r.a, yang artinya “Bahwasanya Nabi SAW pernah junub, padahal beliau berpuasa, kemudian beliau mandi”.
Dengan demikian, janabat itu tidak mempunyai pengaruh terhadap puasa dan orang wajib mandi apabila hendak shalat.

B.     Hikmah di Syariatkannya Puasa
Hikmah-hikmah disyariatkannya puasa, antara lain:
1.      Puasa merupakan ibadah karena Allah, ketundukan terhadap perintah-perintah-Nya dan pemeliharaan diri dari larangan-larangan-Nya.
2.      Mendidik jiwa dan membiasakannya untuk bersikap sabar dan tabah ketika menanggung kesulitan dalam menjalankan agama Allah SWT.
3.      Puasa mendidik rasa cinta, belas kasih dan penyantun yang ada dalam diri manusia dan dari pendidikan puasa itu akan lahir manusia-manusia yang lembut hatinya dan baik jiwanya.
4.      Puasa mendidik jiwa manusia dengan menanamkan perasaan takut kepada Allah yang Maha Agung lagi Maha Tinggi dan takut kepada-Nya, baik di tempat tersembunyi maupun di tempat ramai, serta menjadikannya manusia yang bertakwa, yang menjauhkan diri dari segala yang dilarang oleh Allah SWT. 


[1] Drs. H. Abdur Rachim dan Drs. Fathony, Syariat Islam, (Yogyakarta: Rektor UIN Sunan Kalijaga, 1986), hlm 208
[2] Yusuf Qardhawi, Konsep Ibadah Dalam Islam, (Surabaya: Central Media, 1991), hlm 187
[3] Syeikh ‘izzuddin Ibnu Abdis Salam, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Bandung: Nusa Media, 2011), hlm 346  
[4] Drs. H. Abdur Rachim dan Drs. Fathony, Syariat Islam, (Yogyakarta: Rektor UIN Sunan Kalijaga, 1986), hlm 230
[5] Drs. H. Abdur Rachim dan Drs. Fathony, Syariat Islam, (Yogyakarta: Rektor UIN Sunan Kalijaga, 1986), hlm 238

Tidak ada komentar:

Posting Komentar