A.
Struktur
Klien dan konselor kadang kadang mempunyai persepsi yang berbeda
mengenai tujuan dan sifat konseling. Klien sering kali tidak tahu apa yang
diharapkan dari proses yang dijalaninya atau bagaimana harus menanggapinya.
Menemui konselor adalah upaya bagi kebanyakan orang. Mereka akan lebih dulu
mencari pertolongan dari sumber-sumber yang lebih familiar, seperti teman,
sanak saudara, rohaniawan, atau bahkan guru (Hinson & Swanson, 1993). Oleh
karena itu, banyak klien yang menjalani konseling secara terpaksa dan enggan.
Ketidak pastian ini dapat menghambat proses konseling jika tidak disertai
dengan struktur tertentu (Ritchie, 1986). Struktur dalam konseling diidentifikasikan
sebagai “kesepemahaman bersama antara konselor dan klien dan memberikan arah
yang benar; melindungu hak, peran, dan kewajiban baik dari konselor maupun
klien; dan memastikan kesuksesannya konseling (Brammer, Abrego, & Shostrom,
1993).
Panduan praktis merupakan bagian dari pembangunan struktur. Panduan
ini mencangkup batas waktu (misalnya 50 meniat setiap sesi), batas kegiatan
(untuk mencegah adanya perilaku yang dapat merusak), batas peran (yang
diharapkan dari masing-masing partisipan), batas prosedural (klien diberikan
tanggung jawab untuk berusaha mencapai tujuan atau kepentingan tertentu)
(Brammer & McDonald, 2003). Panduan juga memberikan informasi tentang
jadwal pembayaran dan hal-hal yang harus diperhatikan oleh klien. Secara umum, struktur
membantu meningkatkan perkembangan konseling dengan memberikan kerangka
mengenai proses yang akan dijalani. “Hal ini membantu menyembuhkan dari dalam
dan luar” (Day Sparacio, 1980, hal. 246).
struktur diberikan di setiap tahapan konseling dan berperan sangat
penting di awal konseling. Dorn (1984)
menyatakan bahwa “klien biasanya menjalani konseling karena mereka berada dalam
kondisi statis” (hal. 342). Yaitu klien merasa buntu dan kehilangan kendali
untuk mengubah tingkah lakunya.
Pentingnya struktur sangat terlihat saat klien datang ke konseling
dengan harapan yang tidak realistis (Welfel & Petterson, 2005). Konselor
darus secepatnya menetapkan struktur pada kadaan semacam ini. Salah satunya
adalah dengan menyediakan informasi tentang proses konseling tersebut diri
mereka sendiri, melalui pernyataan-pernyataan pembuka yang profesional temasuk
detail mengenai sifat konseling, apa yang diharapkan dari konseling tersebut,
tanggung jawab, metode-metode yang digunakan, dan etika konseling.
B.
Inisiatif
Inisiatif dapat disebut juga sebagai motivasi untuk berubah. Kebanyakan
konselor dan teori konseling menganggap bahwa klien akan bersifat bekerja sama.
memang benar, banyak klien yang datang untuk konseling secara sukarela atau
berdasarkan keinginan sendiri. Mereka merasa tegang dan khawatir mengenai diri
mereka sendiri ataupun orang lain, tetapi berkeinginan kuat untuk menjalani
sesi konseling. Namun ada juga klien
yang tidak ingin berpartisipasi dalam konseling.
Vriend & Dyer (1973) memperkirakan adanya keengganan dalam
berbagai tingkatan ada mayoritas klien yang datang ke konselor. Jika konselor
bertemu dengan klien yang sepertinya kurang berinisiatif, dia sering kali tidak
tau apa yang harus diperbuat dengan klien, apalagi bagaimana memulai konseling.
Oleh karena itu, sebagai konselor merasa tidak sabar, terganggu, dan bahkan
langsung menyerah mneghadapi orang-orang seperti itu. Hasilnya bukan hanya
terminasi hubungan namun juga mengkambing-hitamkan klien-menyalahkan klien atas
kesalahan yang bukan berasal dari pihaknya. Banyak konselor yang ahirnya
menyalahkan diri sendiri atau klien, jika konseling yang mereka lakukan tidak
berhasil. Tuduhan semacam itu seharusnya tidak terjadi jika konselor memahami
bagaimana dinamika klien. Sebagian dari klien berpura-pur datang, mereka datang
tidak secara suka rela.
Misalnya anak skolah dan klien yang diperintahkan pengadilan untuk
menjalani konseling. Mereka tidak ingin melakukan konseling apa lagi bercerita
tentang masalahnya. Kemudian banyak klien menghentikan konseling lebih awal dan
melaporkan ketidak puasan proses yang dijalani.
Klien yang enggan atau setengah hati dalam proses konseling
memiliki rasa tidak siap, menolah untuk berubah dan tidak berkeinginan. Cara
untuk menngani masalah inisiatif ini, adalah dengan beberapa cara:
1.
Mengantisipasi
kemarahan, frustasi, ketertutupan yang ditujukan oleh kien
2.
Untuk
mengahadapi kurangnya inisiatif adalah menunjukkan, penerimaan, kesabaran, dan
pengertian termsduk perilkau yang tidak menghakimi. Langkah ini meningkatkan kepercayaan,
dari hubungan antar pribadi dan membantu klien untuk memahami perasaan dan
pikirannya tentang konseling.
3.
Menggunakan
metode persuasif. Semua konselor mempunyai pengaruh terhadap kliennya dan
sebaliknya. Pada teknik ini konselor meminta klien untuk memenuhi permintaan
kecil kemudian kepermintaan yang lebih besar.
C.
Setting
Konseling dapat dilakukan dimanapun, tetapi ada beberapa setting
yang meningkatkan proses konseling lebih baik. Dari sekian banyak faktor
penting yang membantu atau menghambat proses, salah satunya adalah tempat
dimana konseling di lakukan. Menurut benjamin kualitas ruangan untuk konseling
adalah tidak boleh berisik, membuat gelisah atau menyebabkan gangguan. Shertzer
dan Stone sangat setuju, ruangan konseling yang terpenting adalah nyaman dan
atraktif.
Pressly dan Heesacker meneliti delapan karakteristik arsitektur
dari ruangan dn potensinya terhadap konseling. Faktor yang mereka tinjau
adalah:
1.
Aksesoris
(contoh: karya seni, obyek, tumbuhan), orang lebih menyukai gambar alam yang
kompleks dengan warna natural dari pada poster orang dan lukisan abstrak. Orang
lebih merasa nyaman di kantor yang bersih yang dilengkapi karya seni dan
tumbuh-tumbuhan.
2.
Pewarnaan
(contoh, kecerahan, saturasi) warna yang terang selalu berhubungan dengan emosi
positive, seangkan warna gelap dihubungkan dengan emosi negatif.
3.
Perabotan
dan desain ruangan (contoh, bentuk, garis, warna, tekstur, ukuran), konselor
dan klien lebih suka jarak yang tidak begitu jauh saat konseling dan tata letak
furnitur yang lebih protektif.
4.
Pencahayaan
(contoh, buatan , alami), komunikasi cenderung terjadi dilingkungan terang,
semetara percakapan yang lebih akrab cenderung terjadi dilingkungan yang
bercahaya yang lebih teduh.
5.
Aroma
(contoh, tumbuhan, wewangian, bau-bauan, secara umum) aroma yang tidak
menyenangkan membangkitkan memori yang tidak menyenangkan, sementara aroma yang
menyenangkan membangkitkan kenangan yang menyenangkan; menghirup aroma makanan
dan buah-buahan terbukti dapat membuat klien mengungkapkan simtom depresinya.
6.
Suara
(contoh, tingkat kebisingan, frekuensi), suara dapat meningkatkan atau
mengurangi peforma kerja. Musik dapat membantu dalam proses penyembuhan dan
meredakan ketegangan otot, tekanan darah, detak jantung dan rasa sakit.
7.
Tekstur
(contoh, lantai, dinding,atap, perabotan), konselor sebaiknya mempertimbangkan
penggunaan permukaan yang lembut, bertekstur untuk menyerap suara dan untuk
meningkatkan perasaan privasi klienya.
8.
Suhu
udara (contoh, temperatur, tingkat kelembapan, tekanan udara), kebanyakan
individu merasa lebih nyaman pada temperatur 60-80 derajat farenheit dan
tingkat kelembapan relatif 30-60 persen.
D.
Kualitas
Klien
Hubungan konseling diawali sejak kesan pertama, cara konselor dan
klien saling berkenalan merupakan hal yang vital dalam membangun sebuah
hubungan yang produktif. Klien adalah individu yang sedang mengalami hambatan
atau masalah untuk mendapatkan kebahagiaan hidup.Warnath
(1977) menunjukkan bahwa “klien datang dalam beragam ukuran, bentuk,
karakteristik kepribadian, dan tingkat ketertarikan” (p. 85).
Beberapa klien kemungkinan besar lebih sukses dalam menjalani
konseling, daripada yang lainnya. Kandidat paling sempurna untuk melakukan
pendekatan cenderung datang dari kalangan muda, atraktif, berani berbicara,
cerdas, dan sukses (schofield, 1964). Kandidat yang kurang sukses adalah mereka
yang tua, kurang cerdas, jarang bicara, kurang berkemampuan, bodoh, kurai
pandai, kurang berkemampuan (Allen, 1977). Akronim tersebut memang kejam
(Lichtenberg, 1986), tetapi konselor memang terpengaruh oleh penampilan dan
kecanggihan orang yang diberinya konseling. konselor paling senang bekerja
dengan orang-orang yang mereka anggap mempunyai potensi besar untuk berubah.
Sejumlah stereotip dihubungkan dengan daya tarik fisik dan
stereotip tersebut digeneralisasikan pada klien. Orang yang fisiknya menarik
dianggap paling sehat dan memberi respons lebih positif daripada yang lain.
Goldstein (1973), misalnya, menemukan bahwa klien yang dipandang oleh
konselornya sebagai klien yang sangat atraktif, adalah banyak bicara, dan lebih
spontan dibandingkan klien yang lain. Konselor cenderung lebih memilih dukungan
dan tertarik dengan klien yang atraktif. Oleh karena itu, klien yang sudah
berumur, dan klien yang mempunyai kekurangan fisik akan menghadapi dinding
penghalang yang kuat tetapi tidak kelihatan, pada situasi konseling tertentu.
Ponzo (1985) menyarankan agar konselor menyadari kuatnya ketertarikan fisik
dalam kehidupannya dan memonitor tingkah laku rasionalnya, ketika bekerja
dengan klien yang atraktif. Jika tidak, stereotip dan asumsi tanpa dasar dapat
“mengarah pada perkiraan yang memuaskan diri sendiri” (p. 485).
Seorang klien
yang mengatakan semuanya baik-baik saja, namun memandang kebawah dan dahinya
berkerut sesunggungnya mengatakan hal sebaliknya. Konselor harus
mempertimbangan gestur tubuh klien, kontak mata, ekspresi wajah, dan kualitas
vokal sebagai hal yang sama pentingnya dengan komunikasi verbal dalam hubungan
konseling. Yang tak kalah penting adalah mempertimbangkan latar belakang
kultural seseorang yang bahasa tubuhnya sedang dievaluasi, dan menerjemahkan
pesan-pesan nonverbal secara seksama (sielski, 1979).
E.
Kualitas
Konselor
Kualitas pribadi dan profesionl seorang konselor sangatlah penting
dalam memfasilitasi hubungan yang sifatnya memberi bantuan. Okun dan Kantrowits
(2008) mencatat bahwa sangatlah sulit untuk memisahkan karakteristik
kepribadian kepribadian si penolong dari tingkat dan gaya dalam bekerja, karena
keduanya saling berhubungan. Kemudian mereka menyebutkan lima karakteristik
yang harus dimiliki penolong: mawas diri, jujur, selaras, mampu berkomunikasi,
dan berpengetahuan.
Konselor yang terus-menerus mengembangkan kemampuan mawas dirinya,
selalu bersentuhan dengan nilai-nilai pikiran, dan perasaannya. Dia mempunyai
persepsi yang jernih tentang kebutuhan klien dan diri sendiri, dan menilai
keduanya secara akurat. Mwas diri semacam itu dapat membantu konselordapat
lebih selaras dan membangun rasa saling percaya secara berkelanjutan. Konselor
yang mempunyai pengetahuan tersebut lebih dapat berkomunikasi secara jelas dan
akurat.
Tiga karakteristik lain yang membuat konselor di awalnya menjadi
lebih berpengaruh adalah keahlian, ketertarikan, dan dapat dipercaya (strong,
1968). Keahlian adalah tingkat dimana seorang konselor digambarkan sebagai
orang yang berpengetahuan dan melek informasi mengenai spesialiasnya. Konselor
yang mempertujukkan bukti-bukti kemampuan di dalam kantornya, seperti misalnya
ijazah dan sertifikat, biasa diangap lebih kredibel daripada konselor yang
tidak dan akibatnya, dianggap lebih efektif (Loesch, 1984; Siegal & Sell,
1978). Klien menginginkan konselor yang tampak mengetahui profesinya dengan
baik.
Ketertarikan adalah fungsi dari kesamaan yang terasakan antara
klien dan konselor selain fitur fisik. Koselor dapat membuat dirinya menarik
dengan berbicara dalam kalimat-kalimat yang jelas, simpel, tanpa jargon, dan
menawarkan pengungkapan diri yang tepat (Watkins & Schenidar, 1989). Cara
konselor menyambut klien dan tetap menjaga kontak mata dapat menaikkan tingkat
ketertarikan. Konselor yang menggunakan petunjuk nonverbal dalam menanggapi
kliennya, seperti anggukan kepala dan kontak mata misalnya, dianggap lebih
menarik daripada yang tidak (Clainborn, 1979; LaCross, 1975). Gaya busana konselor
juga dapat membuat perbedaan (Hubble & Gelso, 1978). Busana yang dikenakan
haruslah rapi, bersih dan tampak profesional namun jangan sampai mencolok.
Fitur fisik juga membuat perbedaan, yaitu bahwa dalam kondisi tertentu,
penelitian membuktikan kalau klien lebih mau membuka diri kepada konselor yang
menarik daripada yang kurang menarik (Harris & Busby, 1998).
Sifat dapat dipercaya dihubungkan dengan ketulusan dan konsistensi
konselor. Konselor harus memiliki kepedulian yang tulus dan menunjukkan terus-menerus
dengan cara menjalin hubungan yang erat. “tidak ada keakraban atau kepercayaan
yang instan” (Patterson, p. 124). Keduanya dihasilkan dari pola-pola
tingkahlaku yang mneunjukkan perhatian dan kepedulian. Kebanyakan klien tidak
percaya sama sekali atau malah terlalu percaya begitu saja. Namun, seperti yang
disebutkan oleh Fong dan Cok (1983), banyak klien yang menguji sifat dapat
dipercaya dari konselornya dengan cara meminta informasi, menceritakan suatu
rahasia, meminta pertolongan, membuat konselor merasa tidak nyaman, menunjukkan
ketidak sepakatan, atau mempertanyakab motif dan dedikasi konselor. Oleh karena
itu sangatlah penting bahwa konselor menanggapi ujian perihal keprcayaan tadi
dibanding kata-kata verbal klien, sehingga dapat terjalin hubungan konseling
yang baik.
Banyak konselor pemula yang membuat kesalahan yang menangani
permasalahan yang tampak dipermuaan, tanpa melihat permasalahan yang
sebenarnya. Sebagai contoh, jika klien bertanya kepada konselor, “Dapatkan saya
menceritakan apa pun kepada Anda?” seorang konselor pemula akan mengatakan,
“Apa yang kamu maksud dengan apa pun?” seorang konselor berpengalaman akan
mengatakan, “Seprtinya Anda masih kurang yakin apakan Anda bisa benar-benar
mempercayai saya dan hubungan ini. Ceritakan lebih banyak kepada saya”. Seperti
pada orang dewasa, kepercayaan pada anak-anak dibangun dengan cara mendengarkan
terlebih dahulu dan memberikan kebebasan kepada anak untuk mengekspresikan
dirinya secara terbuka baik verbal maupun nonverbal, sebelum konselor mulai
memberi tanggapan (Erdman & Lampe, 1996)
DAFTAR PUSTAKA
Erhamwilda, konseling islami, yogyakarta: graha ilmu, 2009.
Gladding, Samuel T., Konseling Profesi yang Menyeluruh,
.Jakarta: Indeks, 2012.
Arifin, Eva, Tekhnik Konseling diMedia Massa, Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2010.