Selasa, 15 Desember 2015

ANALISIS PERILAKU MANUSIA



  1. Manusia Tanpa Ibadah (sholat)
Manusia yang tidak pernah melakukan ibadah hatinya akan kosong. Hal ini di karenakan aspek spiritualnya tidak pernah terasah, sehingga menjadi kosong dan tumpul. Hukum-Hukum keagamaan tidak menjadi panutan yang harus di lakukan. Logikanya, beribadah saja tidak pernah, apalagi mentaati hukum-hukum keagamaan? Mereka akan hidup seperti robot dan perilakunya cendrung di atur oleh lingkungan. Perilaku manusia tanpa  ibadah senantiasa mengikuti hawa nafsu untuk memuaskan segala hasrat yang ada dalam dirinya.
  1. Manusia Tanpa Makan Nasi
Makanan pokok orang Indonesia mayoritas adalah nasi. Namun ketika kita melihat fakta anak-anak kost yang jauh dari orang tua dan berusaha untuk hidup mandiri, mereka jarang untuk makan nasi. mereka lebih senang dengan ngemil dan makan mie instan. Hal ini di nilai lebih hemat, ekonomis dan praktis.
Sebetulnya jika pola hidup di lakukan demikian, tubuh akan kurang sehat. Sistem pencernaan juga akan terganggu. Perilaku yang kami amati dari manusia tanpa makan nasi adalah wajah mereka cenderung pucat, lemas dan terlihat kurang semangat. Asupan gizi mereka juga kurang, sehingga ketika melakuakn kuliah ataupun diskusi, mereka cenderung pasif.
  1. Manusia Tanpa Handphone
Kemajuan zaman membuat kita mudah dalam berkomunikasi.  Handphone adalah salah satu alat komunikasi yang sangat populer dan bahkan setiap orang memilikinya. Namun ada beberapa manusia yang tidak menggunakan hanphone. Jika kami amati, manusia yang hidup tanpa hanphone akan memiliki sedikit teman dan lama kelamaan teman-teman akan habis secara perlahan. Hal ini terjadi karena teman yang jauh ataupun teman yang sudah lama tak berjumpa pasti akan berkomunikasi menggunakan handphone. Bayangkan jika teman-teman kita semuanya mendapat informasi dan berkomunikasi melalui handphone, sedangkan kita tidak memiliki hanphone sendiri. Mungkinkah dalam penerimaan informasi kita akan terlewat?
Mengenai manusia tanpa handphone, bisa kami katakan mereka akan kurang dalam pergaulan dan hanya itu saja temannya. Hal ini terjadi karena handphone adalah alat komunikasi yang sangat umum dan setiap orang memiliknya. Sangatlah sulit jika akan berkomunikasi jika tidak memiliki handphone. Silaturahmi dan komunikasi menjadi terhambat. Inilah penyebabnya. Fenomena ini menurut istilah, biasa di sebut dengan “gaptek” (gagap teknologi).
  1. Manusia Tanpa Sosial Media
Manusia yang hidup tanpa menggunakan sosial media (sosmed) biasanya hidup di lingkungan yang jauh dari perkotaan. Saya mengamati beberapa perbedaan antara manusia dengan sosmed dan manusia tanpa menggunakan sosmed. Perbedaannya yaitu mereka yang tanpa menggunakan sosmed  dalam kehidupannya akan lebih bermasyarakat dan aktif terhadap kegiatan sosial. Akan tetapi, manusia yang hidup tanpa sosmed juga cenderung kuper (kurang pergaulan) dan katrok (ketinggalan zaman).
Sedangkan manusia yang sering menggunakan sosmed, mereka akan cenderung mengikuti fashion terbaru, mengikuti segala trend yang ada, dan lebih banyak menggunakan waktunya untuk bermain di sosial media. Mereka yang sering menggunakan sosmed juga akan terlihat sering melakuakan selfie dan segala kegiatannya akan selalu di sertai dengan selfie. Hal ini mereka lakukan untuk tetap “eksis” baik di dunia nyata maupun di dunia maya.
  1. Manusia Tanpa Bedak (Wanita)
Bedak tidak dapat di pisahkan dengan wanita. Akan tetapi, tidak semua wanita menggunakan bedak. Karena bedak, wajah dapat di poles menjadi lebih putih dan mulus. Ketika wanita menggunakan bedak, berarti mereka ingin terlihat cantik dan lebih walaupun harga bedak relatif mahal. Kami mengamati, bahwa wanita yang menggunakan bedak berprilaku lebih percaya diri dan tidak merasa canggung ketika bertatapan ataupun berpapasan dengan pria.
Lain permasalahan dengan wanita yang tidak menggunakan bedak sebagai sarana primer. Mereka yang hidup tanpa bedak terlihat tidak percaya diri dan menutup diri terhadap pria. Mungkin merasa grogi karena penampilan atau merasa ada yang kurang dengan dirinya jika di bandingkan  teman-temannya yang eksis berdandan dan make up yang memoles wajahnya.
  1. Manusia Tanpa Sisir (Pria)
Pria yang hidup dengan sisir rambut, mereka akan lebih eksis dan lebih percaya diri. Jika kami mengamati, Mungkin karena volume rambutnya yang sedikit, kebanyakan kaum pria jarang menggunakan sisir rambut dan kaum pria cenderung tidak terlalu memperhatikan penampilan. Tingkah laku yang dapat kami amati adalah mereka tidak terlalu agresif terhadap lawan jenis jika di bandingkan dengan pria yang selau bersisir.
Kami menilai, pria yang selalu menggunakan sisir rambut adalah pria sangat rapi, sehingga setiap detail penampilan sangatlah di perhatikan. Mungkin orang yang selalu menggunakan sisir adalah orang yang sangat berasmara. Mereka selalu mencari cinta dan menebarkan benih-benih cinta kepada  sang lawan jenis.
  1. Manusia Tanpa Punya Uang
Manusia membutuhkan uang untuk keperluan ekonominya. Setiap orang yang memiliki uang banyak, akan di sebut dengan orang kaya. Hidupnya pasti cenderung mewah, apapun yang di belinya pasti berkualitas. Berbeda dengan orang yang memiliki sedikit uang, mereka akan hidup dengan apa adanya. Pergaulan mereka yang hidup tanpa uang akan cenderung bergaul dengan orang yang senasib atau berada di tingkatan ekonomi di bawahnya lagi.
Perilaku orang yang  hidup tanpa uang cenderung minder dan tidak percaya diri. Hal ini terjadi mungkin karena orang yang hidup tanpa uang tidak banyak memiliki barang atau memiliki barang tetapi tidak bagus. Maka, ketika orang tanpa uang ini bermasyarakat atau bersosial, mereka akan cenderung inferior. Dari sifatnya, Orang yang hidup tanpa uang akan berperilaku sedikit pelit dan jika kita berkomunikasi dengan sesuatu yang berhubungan dengan materi, mereka akan mudah tersinggung.
  1. Manusia Tanpa Cinta/Pacar

Setiap orang pasti butuh cinta. Namun untuk masalah cinta yang berkenaan dengan pacar. Ada yang tidak ingin pacaran karena menjaga dirinya dan ada yang memilih untuk mencoba berpacaran agar dapat mengenal lebih dalam pasangannya. Orang yang hidup tanpa cinta biasanya terlihat lebih bebas karena mereka tidak di awasi oleh pacarnya. Mereka yang hidup tanpa pacar juga terlihat lebih fresh, karena tidak terbebani oleh pacarnya dan orang yang berpacaran biasanya lebih depresi meluangkan waktu, pikiran, tenaga, dan biaya hanya untuk sang kekasih. Dalam hal konsentrasi, mereka yang hidup tanpa pacar akan dapat fokus di bandingkan dengan yang hidup dengan pacar. Hal ini terjadi karena pikiran-pikiran orang yang berpacaran akan selalu memikirkan sang kekasih. Bahkan, ada yang setiap waktu harus memberi kabar kepada pacarnya agar dinilai perhatian.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Konseling


A.           Struktur
Klien dan konselor kadang kadang mempunyai persepsi yang berbeda mengenai tujuan dan sifat konseling. Klien sering kali tidak tahu apa yang diharapkan dari proses yang dijalaninya atau bagaimana harus menanggapinya. Menemui konselor adalah upaya bagi kebanyakan orang. Mereka akan lebih dulu mencari pertolongan dari sumber-sumber yang lebih familiar, seperti teman, sanak saudara, rohaniawan, atau bahkan guru (Hinson & Swanson, 1993). Oleh karena itu, banyak klien yang menjalani konseling secara terpaksa dan enggan. Ketidak pastian ini dapat menghambat proses konseling jika tidak disertai dengan struktur tertentu (Ritchie, 1986). Struktur dalam konseling diidentifikasikan sebagai “kesepemahaman bersama antara konselor dan klien dan memberikan arah yang benar; melindungu hak, peran, dan kewajiban baik dari konselor maupun klien; dan memastikan kesuksesannya konseling (Brammer, Abrego, & Shostrom, 1993).[1]
Panduan praktis merupakan bagian dari pembangunan struktur. Panduan ini mencangkup batas waktu (misalnya 50 meniat setiap sesi), batas kegiatan (untuk mencegah adanya perilaku yang dapat merusak), batas peran (yang diharapkan dari masing-masing partisipan), batas prosedural (klien diberikan tanggung jawab untuk berusaha mencapai tujuan atau kepentingan tertentu) (Brammer & McDonald, 2003). Panduan juga memberikan informasi tentang jadwal pembayaran dan hal-hal yang harus diperhatikan oleh klien. Secara umum, struktur membantu meningkatkan perkembangan konseling dengan memberikan kerangka mengenai proses yang akan dijalani. “Hal ini membantu menyembuhkan dari dalam dan luar” (Day Sparacio, 1980, hal. 246).
struktur diberikan di setiap tahapan konseling dan berperan sangat penting di awal konseling.  Dorn (1984) menyatakan bahwa “klien biasanya menjalani konseling karena mereka berada dalam kondisi statis” (hal. 342). Yaitu klien merasa buntu dan kehilangan kendali untuk mengubah tingkah lakunya.
Pentingnya struktur sangat terlihat saat klien datang ke konseling dengan harapan yang tidak realistis (Welfel & Petterson, 2005). Konselor darus secepatnya menetapkan struktur pada kadaan semacam ini. Salah satunya adalah dengan menyediakan informasi tentang proses konseling tersebut diri mereka sendiri, melalui pernyataan-pernyataan pembuka yang profesional temasuk detail mengenai sifat konseling, apa yang diharapkan dari konseling tersebut, tanggung jawab, metode-metode yang digunakan, dan etika konseling.

B.            Inisiatif
Inisiatif dapat disebut juga sebagai motivasi untuk berubah. Kebanyakan konselor dan teori konseling menganggap bahwa klien akan bersifat bekerja sama. memang benar, banyak klien yang datang untuk konseling secara sukarela atau berdasarkan keinginan sendiri. Mereka merasa tegang dan khawatir mengenai diri mereka sendiri ataupun orang lain, tetapi berkeinginan kuat untuk menjalani sesi konseling. Namun ada juga klien  yang tidak ingin berpartisipasi dalam konseling.
Vriend & Dyer (1973) memperkirakan adanya keengganan dalam berbagai tingkatan ada mayoritas klien yang datang ke konselor. Jika konselor bertemu dengan klien yang sepertinya kurang berinisiatif, dia sering kali tidak tau apa yang harus diperbuat dengan klien, apalagi bagaimana memulai konseling. Oleh karena itu, sebagai konselor merasa tidak sabar, terganggu, dan bahkan langsung menyerah mneghadapi orang-orang seperti itu. Hasilnya bukan hanya terminasi hubungan namun juga mengkambing-hitamkan klien-menyalahkan klien atas kesalahan yang bukan berasal dari pihaknya. Banyak konselor yang ahirnya menyalahkan diri sendiri atau klien, jika konseling yang mereka lakukan tidak berhasil. Tuduhan semacam itu seharusnya tidak terjadi jika konselor memahami bagaimana dinamika klien. Sebagian dari klien berpura-pur datang, mereka datang tidak secara suka rela.
Misalnya anak skolah dan klien yang diperintahkan pengadilan untuk menjalani konseling. Mereka tidak ingin melakukan konseling apa lagi bercerita tentang masalahnya. Kemudian banyak klien menghentikan konseling lebih awal dan melaporkan ketidak puasan proses yang dijalani.
Klien yang enggan atau setengah hati dalam proses konseling memiliki rasa tidak siap, menolah untuk berubah dan tidak berkeinginan. Cara untuk menngani masalah inisiatif ini, adalah dengan beberapa cara:
1.      Mengantisipasi kemarahan, frustasi, ketertutupan yang ditujukan oleh kien
2.      Untuk mengahadapi kurangnya inisiatif adalah menunjukkan, penerimaan, kesabaran, dan pengertian termsduk perilkau yang tidak menghakimi. Langkah ini meningkatkan kepercayaan, dari hubungan antar pribadi dan membantu klien untuk memahami perasaan dan pikirannya tentang konseling.
3.      Menggunakan metode persuasif. Semua konselor mempunyai pengaruh terhadap kliennya dan sebaliknya. Pada teknik ini konselor meminta klien untuk memenuhi permintaan kecil kemudian kepermintaan yang lebih besar.[2]

C.           Setting
Konseling dapat dilakukan dimanapun, tetapi ada beberapa setting yang meningkatkan proses konseling lebih baik. Dari sekian banyak faktor penting yang membantu atau menghambat proses, salah satunya adalah tempat dimana konseling di lakukan. Menurut benjamin kualitas ruangan untuk konseling adalah tidak boleh berisik, membuat gelisah atau menyebabkan gangguan. Shertzer dan Stone sangat setuju, ruangan konseling yang terpenting adalah nyaman dan atraktif.
Pressly dan Heesacker meneliti delapan karakteristik arsitektur dari ruangan dn potensinya terhadap konseling. Faktor yang mereka tinjau adalah:
1.      Aksesoris (contoh: karya seni, obyek, tumbuhan), orang lebih menyukai gambar alam yang kompleks dengan warna natural dari pada poster orang dan lukisan abstrak. Orang lebih merasa nyaman di kantor yang bersih yang dilengkapi karya seni dan tumbuh-tumbuhan.
2.      Pewarnaan (contoh, kecerahan, saturasi) warna yang terang selalu berhubungan dengan emosi positive, seangkan warna gelap dihubungkan dengan emosi negatif.
3.      Perabotan dan desain ruangan (contoh, bentuk, garis, warna, tekstur, ukuran), konselor dan klien lebih suka jarak yang tidak begitu jauh saat konseling dan tata letak furnitur yang lebih protektif.
4.      Pencahayaan (contoh, buatan , alami), komunikasi cenderung terjadi dilingkungan terang, semetara percakapan yang lebih akrab cenderung terjadi dilingkungan yang bercahaya yang lebih teduh.
5.      Aroma (contoh, tumbuhan, wewangian, bau-bauan, secara umum) aroma yang tidak menyenangkan membangkitkan memori yang tidak menyenangkan, sementara aroma yang menyenangkan membangkitkan kenangan yang menyenangkan; menghirup aroma makanan dan buah-buahan terbukti dapat membuat klien mengungkapkan simtom depresinya.
6.      Suara (contoh, tingkat kebisingan, frekuensi), suara dapat meningkatkan atau mengurangi peforma kerja. Musik dapat membantu dalam proses penyembuhan dan meredakan ketegangan otot, tekanan darah, detak jantung dan rasa sakit.
7.      Tekstur (contoh, lantai, dinding,atap, perabotan), konselor sebaiknya mempertimbangkan penggunaan permukaan yang lembut, bertekstur untuk menyerap suara dan untuk meningkatkan perasaan privasi klienya.
8.      Suhu udara (contoh, temperatur, tingkat kelembapan, tekanan udara), kebanyakan individu merasa lebih nyaman pada temperatur 60-80 derajat farenheit dan tingkat kelembapan relatif 30-60 persen.[3]
D.           Kualitas Klien
Hubungan konseling diawali sejak kesan pertama, cara konselor dan klien saling berkenalan merupakan hal yang vital dalam membangun sebuah hubungan yang produktif. Klien adalah individu yang sedang mengalami hambatan atau masalah untuk mendapatkan kebahagiaan hidup.[4]Warnath (1977) menunjukkan bahwa “klien datang dalam beragam ukuran, bentuk, karakteristik kepribadian, dan tingkat ketertarikan” (p. 85).
Beberapa klien kemungkinan besar lebih sukses dalam menjalani konseling, daripada yang lainnya. Kandidat paling sempurna untuk melakukan pendekatan cenderung datang dari kalangan muda, atraktif, berani berbicara, cerdas, dan sukses (schofield, 1964). Kandidat yang kurang sukses adalah mereka yang tua, kurang cerdas, jarang bicara, kurang berkemampuan, bodoh, kurai pandai, kurang berkemampuan (Allen, 1977). Akronim tersebut memang kejam (Lichtenberg, 1986), tetapi konselor memang terpengaruh oleh penampilan dan kecanggihan orang yang diberinya konseling. konselor paling senang bekerja dengan orang-orang yang mereka anggap mempunyai potensi besar untuk berubah.
Sejumlah stereotip dihubungkan dengan daya tarik fisik dan stereotip tersebut digeneralisasikan pada klien. Orang yang fisiknya menarik dianggap paling sehat dan memberi respons lebih positif daripada yang lain. Goldstein (1973), misalnya, menemukan bahwa klien yang dipandang oleh konselornya sebagai klien yang sangat atraktif, adalah banyak bicara, dan lebih spontan dibandingkan klien yang lain. Konselor cenderung lebih memilih dukungan dan tertarik dengan klien yang atraktif. Oleh karena itu, klien yang sudah berumur, dan klien yang mempunyai kekurangan fisik akan menghadapi dinding penghalang yang kuat tetapi tidak kelihatan, pada situasi konseling tertentu. Ponzo (1985) menyarankan agar konselor menyadari kuatnya ketertarikan fisik dalam kehidupannya dan memonitor tingkah laku rasionalnya, ketika bekerja dengan klien yang atraktif. Jika tidak, stereotip dan asumsi tanpa dasar dapat “mengarah pada perkiraan yang memuaskan diri sendiri” (p. 485).
Seorang klien yang mengatakan semuanya baik-baik saja, namun memandang kebawah dan dahinya berkerut sesunggungnya mengatakan hal sebaliknya. Konselor harus mempertimbangan gestur tubuh klien, kontak mata, ekspresi wajah, dan kualitas vokal sebagai hal yang sama pentingnya dengan komunikasi verbal dalam hubungan konseling. Yang tak kalah penting adalah mempertimbangkan latar belakang kultural seseorang yang bahasa tubuhnya sedang dievaluasi, dan menerjemahkan pesan-pesan nonverbal secara seksama (sielski, 1979).
E.            Kualitas Konselor
Kualitas pribadi dan profesionl seorang konselor sangatlah penting dalam memfasilitasi hubungan yang sifatnya memberi bantuan. Okun dan Kantrowits (2008) mencatat bahwa sangatlah sulit untuk memisahkan karakteristik kepribadian kepribadian si penolong dari tingkat dan gaya dalam bekerja, karena keduanya saling berhubungan. Kemudian mereka menyebutkan lima karakteristik yang harus dimiliki penolong: mawas diri, jujur, selaras, mampu berkomunikasi, dan berpengetahuan.
Konselor yang terus-menerus mengembangkan kemampuan mawas dirinya, selalu bersentuhan dengan nilai-nilai pikiran, dan perasaannya. Dia mempunyai persepsi yang jernih tentang kebutuhan klien dan diri sendiri, dan menilai keduanya secara akurat. Mwas diri semacam itu dapat membantu konselordapat lebih selaras dan membangun rasa saling percaya secara berkelanjutan. Konselor yang mempunyai pengetahuan tersebut lebih dapat berkomunikasi secara jelas dan akurat.
Tiga karakteristik lain yang membuat konselor di awalnya menjadi lebih berpengaruh adalah keahlian, ketertarikan, dan dapat dipercaya (strong, 1968). Keahlian adalah tingkat dimana seorang konselor digambarkan sebagai orang yang berpengetahuan dan melek informasi mengenai spesialiasnya. Konselor yang mempertujukkan bukti-bukti kemampuan di dalam kantornya, seperti misalnya ijazah dan sertifikat, biasa diangap lebih kredibel daripada konselor yang tidak dan akibatnya, dianggap lebih efektif (Loesch, 1984; Siegal & Sell, 1978). Klien menginginkan konselor yang tampak mengetahui profesinya dengan baik.
Ketertarikan adalah fungsi dari kesamaan yang terasakan antara klien dan konselor selain fitur fisik. Koselor dapat membuat dirinya menarik dengan berbicara dalam kalimat-kalimat yang jelas, simpel, tanpa jargon, dan menawarkan pengungkapan diri yang tepat (Watkins & Schenidar, 1989). Cara konselor menyambut klien dan tetap menjaga kontak mata dapat menaikkan tingkat ketertarikan. Konselor yang menggunakan petunjuk nonverbal dalam menanggapi kliennya, seperti anggukan kepala dan kontak mata misalnya, dianggap lebih menarik daripada yang tidak (Clainborn, 1979; LaCross, 1975). Gaya busana konselor juga dapat membuat perbedaan (Hubble & Gelso, 1978). Busana yang dikenakan haruslah rapi, bersih dan tampak profesional namun jangan sampai mencolok. Fitur fisik juga membuat perbedaan, yaitu bahwa dalam kondisi tertentu, penelitian membuktikan kalau klien lebih mau membuka diri kepada konselor yang menarik daripada yang kurang menarik (Harris & Busby, 1998).
Sifat dapat dipercaya dihubungkan dengan ketulusan dan konsistensi konselor. Konselor harus memiliki kepedulian yang tulus dan menunjukkan terus-menerus dengan cara menjalin hubungan yang erat. “tidak ada keakraban atau kepercayaan yang instan” (Patterson, p. 124). Keduanya dihasilkan dari pola-pola tingkahlaku yang mneunjukkan perhatian dan kepedulian. Kebanyakan klien tidak percaya sama sekali atau malah terlalu percaya begitu saja. Namun, seperti yang disebutkan oleh Fong dan Cok (1983), banyak klien yang menguji sifat dapat dipercaya dari konselornya dengan cara meminta informasi, menceritakan suatu rahasia, meminta pertolongan, membuat konselor merasa tidak nyaman, menunjukkan ketidak sepakatan, atau mempertanyakab motif dan dedikasi konselor. Oleh karena itu sangatlah penting bahwa konselor menanggapi ujian perihal keprcayaan tadi dibanding kata-kata verbal klien, sehingga dapat terjalin hubungan konseling yang baik.
Banyak konselor pemula yang membuat kesalahan yang menangani permasalahan yang tampak dipermuaan, tanpa melihat permasalahan yang sebenarnya. Sebagai contoh, jika klien bertanya kepada konselor, “Dapatkan saya menceritakan apa pun kepada Anda?” seorang konselor pemula akan mengatakan, “Apa yang kamu maksud dengan apa pun?” seorang konselor berpengalaman akan mengatakan, “Seprtinya Anda masih kurang yakin apakan Anda bisa benar-benar mempercayai saya dan hubungan ini. Ceritakan lebih banyak kepada saya”. Seperti pada orang dewasa, kepercayaan pada anak-anak dibangun dengan cara mendengarkan terlebih dahulu dan memberikan kebebasan kepada anak untuk mengekspresikan dirinya secara terbuka baik verbal maupun nonverbal, sebelum konselor mulai memberi tanggapan (Erdman & Lampe, 1996)[5]








DAFTAR PUSTAKA
Erhamwilda, konseling islami, yogyakarta: graha ilmu, 2009.
Gladding, Samuel T., Konseling Profesi yang Menyeluruh, .Jakarta: Indeks, 2012.
Arifin, Eva, Tekhnik Konseling diMedia Massa, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.




[1] Samuel T. Gladding, Konseling Profesi yang Menyeluruh, (Jakarta: Indeks, 2012), hlm.149
[2] Ibid, hlm.154
[3] Ibid, hlm.157
[4] Erhamwilda, konseling islami, (yogyakarta: graha ilmu, 2009), hlm. 116.
[5] Samuel T. Gladding, Konseling Profesi yang Menyeluruh, (Jakarta: Indeks, 2012), hlm.160