Jumat, 29 Mei 2015

AJARAN TAREKAT ISLAM DALAM SASTRA JAWA



AJARAN TAREKAT ISLAM DALAM SASTRA JAWA


Islam masuk ke Nusantara melalui peran tarekat. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya tokoh-tokoh penyebar Islam yang sesungguhnya adalah para syaikh atau mursyid tarekat. Sebuah kajian eksploatif yang dilakukan oleh Martin Van Bruinessen tentang tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah di Nusantara memberikan gambaran tentang bagaimana peran guru tarekat dalam Islamisasi di Nusantara.[1] Pada abad ke-16 dan 17, tarekat telah menjadi bagian penting didalam kehidupan masyarakat Islam Nusantara. Tarekat yang berkembang di abad tersebut antara lain adalah tarekat qadiriyah wa naqsyabandiyah, syattariyah, naqsyabandiyah, khalwatiyah, samaniyah dan alawiyah. Beberapa tarekat lain seperti tijaniyah baru berkembang sekitar tahun 1850-an berkat tokoh tasawuf asal Kalimantan yang bermukim di Makkah, yaitu Syaikh Ahmad Khatib Sambasi, beliau merupakan tokoh yang berhasil memadukan antara terekat Qadirriyah dan Naqsyabandiyah.[2]
 Arti tarekat sebagaimana aslinya adalah cara, jalan, atau metode untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Cara atau metode itulah yang masing-masing aliran tarekat dapat saja berbeda, tetapi inti atau tujuannya sama. Itulah sebabnya seorang yang menggunakan cara-cara tertentu agar dapat mencapai derajat dekat dengan Tuhan disebut salik (penelusur jalan). Ajaran tarekat mengajarkan pencarian makna agama sebagai simbol suci dengan menekankan pada aspek mendalam (esoteris) dibanding dimensi luar (eksoteris) melalui system wirid (dzikir) yang terstruktur sedemikian rupa dalam jumlah dan caranya di bawah bimbingan mursyid (guru tarekat). Akan tetapi melalui usaha-usaha yang dilakukan oleh Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU), maka dihimpunlah tarekat yang dianggap mu’tabarah (absah) karena memiliki jalur yang jelas sampai kepada Rasulullah dan ajaran yang tidak bertentangan dengan islam, sehingga jumlah yang mu’tabarah kira-kira tidak lebih dari 45 tarekat. Ajaran tarekat terkonseptualisasi  dalam tiga hal mendasar, yaitu: takholli (menjauhkan diri dari segala tindakan yang tercela), tahalli (melakukan semua perbuatan terpuji), dan tajalli (menghias diri dengan akhlak terpuji sehingga Allah akan menampakkan cahaya di dalam dirinya). Dengan demikian, tarekat tidak hanya sebagai tempat untuk berdzikir dengan hitungan-hitungan tertentu, tetapi dengan tujuan akhirnya adalah terciptanya akhlak mulia sebagai perwujudan akhlak islam.[3] Tarekat-tarekat yang masuk dalam wilayah Jawa, antara lain:
1.    Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ialah sebuah tarekat gabungan dari tarekat Qadiriyah dan tarekat Naqsyabandiyah. Tarekat ini didirikan oleh Syekh Ahmad Khatib Sambas (1802-1872) yang dikenal sebagai penulis kitab Fath al-‘Arifin. Sambas adalah nama sebuah kota di sebelah utara Pontianak, Kalimantan Barat.[4]   Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang sekarang berkembang di Indonesia dan khususnya di Jawa adalah mengambil jalur hubungan guru murid (silsilah) kepada Syekh Ahmad Khatib Sambas. Diantara murid-murid Ahmad Khatib Sambas yang kemudian berpengaruh dan menjadi guru mursyid setelah meninggalnya adalah Abdurrahim Al Bali (dari Bali), Abdul Karim (Banten), Syekh Talhah (Cirebon), dan Kyai Ahmad Hasbullah bin Muhammad (Madura).
Di Jawa Tengah, mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang paling besar pengaruhnya dan kemudian memiliki cabang-cabang hampir di semua daerah kabupaten, seperti KH. Muslih bin Abdurrahman dari Mranggen, Demak (wafat 1918). KH. Muslih mengambil tarekat ini dari KH. Abdurrahman dari KH. Ibrahim (Brumbung, Mranggen) yang mendapat ijazah dari Syekh Karim Banten di Mekkah. Ulama ini banyak memberikan ijazah tarekat dan ijazah khalifah kepada beberapa orang muridnya, yang satu diantaranya adalah KH. Ahmad Durri Nawawi, pemimpin tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Desa Kajen, Pati yang menjadi sasaran kajian ini. Selain membaiat beberapa orang murid untuk menjadi khalifah, KH. Muslih juga mengarang beberapa kitab tuntunan Tarekat Qadiriyah yang menjadi pegangan utama para pengikutnya.[5] Sebab-sebab perkembangan tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah yang pesat itu dikarenakan tiga faktor yaitu kyai, ajaran, dan sosial budaya. Kyai sebagai faktor pertama adalah salah seorang putra Kyai Nawawi yang pengaruhnya sangat luas di daerah Pati dan Jepara. Di samping keturunan, beliau adalah seorang Kyai yang berpandangan luas dan maju, mampu melihat ke depan tentang dakwah Islam dan memanfaatkan lembaga tarekat ini sebagai media dakwah.[6]
2.    Tarekat  Syattariyah
Tarekat Syattariyah didirikan oleh Abdullah Syattar, seorang sufi dari india yang wafat pada tahun 1426. Semula tarekat ini berkembang di India dan salah satu muridnya yang terlibat di dalam pengembangan tarekat adalah Muhammad Gaus Gwa (wafat 1562). Diantara muridnya juga ada yang mengembangkan taekat tersebut di Makkah dan Madinah, yaitu Shibghatullah ibn Rullah (wafat 1606) dan juga khalifahnya yang benama Qusyasyi (1583-1661). Beliau inilah yang mengembangkan tarekat Syattariyah dan memiliki banyak murid dari berbagai penjuru, termasuk dari Nusantara. Salah satu muridnya yang kemudian menjadi pengembang tarekat Syattariyah di Sumatera hingga ke Jawa adalah Syaikh Abdurrauf al-Sinkili. Tarekat ini berkembang di Sumatera dan Jawa melalui jalur Abdurrauf ibn Ali al-Sinkili. Sedangkan ke Jawa melalui Syaikh Abdul Muhyi. Ia adalah murid Syaikh Abdurrauf dari Jawa yang kemudian menjadi pengembang tarekat Syattariyah di Jawa.
Tarekat ini juga berkembang di pantai Utara Jawa. Mata rantai yang ke Jawa Tengah bagian utara dan timur bagian utara sampai saat ini masih remang-remang. Namun yang dari jalur Cirebon dapat diidentifikasi sebagai berikut: Kiai Abdullah Abbas, PP. Buntet, Cirebon, ke M.Aliyuddin, Sukamantri Tanjungkarta, dari H. Busro Karim, Rengas Dengklok. KH. Abdul Karim, Karangtengah, Moga. K.Arwani, Maduritno, Kalihajar, H. Abdurrahman Siddiq, Kebumen. K. Moh. Jahron, Kebondalem, Brongsong Kendal. Ahmad Dainuri Noor, Kalibarang Kulon Progo, dan KH. Uzair Zawali, Tanggir, Singgahan Tuban. (Mu’tamar Thoriqoh Mu’tabaroh Nahdhiyah, 1989). Tokoh tarekat di atas belum diketahui secara pasti. Dalam salah satu silsilah ditemui jalur langsung Jawa dengan Timur Tengah. Dalam silsilah ini ditemui hubungan langsung antara Syaikh Ahmad Syathoni dengan Sunan Gunung Jati Cirebon. Silsilah dari Jawa Tengah adalah sebagai berikut: Asnawi dari Syaikh Ali Mukaram Syahid, Syaikh Ibrahim Khalil, Syaikh Abdurahman, Syaikh Husain, Syaikh Ibrahim ibn Thohir, Syaikh Asy’ari ibn Abdullah, Syaikh Muhammad Sholih.[7]

3.              Tarekat Naqsyabandiyah
Penyebaran tarekat Naqsyabandiyah adalah sebuah tarekat yang mempunyai dampak dan pengaruh yang sangat besar kepada masyarakat muslim di berbagai wilayah yang berbeda-beda. Di Jawa Tengah cabang-cabang Tarekat Naqsyabandiyah hampir semuanya berasal dari dua khalifah Sulaiman Zuhdi yang berpengaruh, Muhammad Ilyas dari Sukaraja dan Muhammad Hadi dari Giri Kusumo. Muhammad Hadi adalah orang sakti khas Jawa. Salah seorang anaknya yang sangat terkenal adalah  Mansur. Ia mendirikan pesantren di Desa Popongan antara Solo dan Klaten. Ayahnya mengajari tarekat selengkapnya dan memberi ijazah untuk mengajar. Popongan menjadi salah satu pusat utama Naqsyabandiyah di Jawa Tengah.
 Pada perkembangan selanjutnya tarekat tersebar ke beberapa daerah di Pulau Jawa, antara lain Rembang, Blora, Banyumas-Purwokerto, Cirebon, Jawa Timur bagian Utara, Kediri, dan Blitar. Pada masa itu tarekat ini telah mengalami perkembangan yang tiada terputus baik secara geografis maupun dalam jumlah pengikut. Walaupun mengalami pasang surut, namun tarekat ini mengalami perkembangan lagi hingga tahun 1925. Pengikut Tarekat Naqsyabandiyah terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, yang berstatus sosial rendah sampai lapisan menengah dan lapisan yang lebih tinggi.[8]
Sebagai orang Jawa yang menganut tarekat melakukan berbagai upacara atau ritual-ritual yang merupakan hasil konstruksi orang Jawa tentang pentingnya melakukan upacara tersebut. Mereka melakukan upacara lingkungan hidup, upacara kalenderikal, upacara hari-hari baik dan juga upacara tolak balak. Upacara-upacara tersebut sudah menjadi bagian dalam dunia kehidupannya, sehingga ada motif yang mendasari tindakannyatersebut. Di Jawa, hampir seluruh penganut tarekat adalah orang NU, sehingga upacara-upacara ritual lokal merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupannya. Kajian terhadap pendekatan tersebut akan memperoleh dunia akal sehat tentang tindakan-tindakan yang dilakukannya. Tidak hanya itu, juga akan bias difahami mengapa mereka melakukannya. Dunia tarekat sarat dengan makna tindakan yang bisa diteropong dengan dua motif seseorang melakukan tindakan.   



[1] H. Nur Syam, Tarekat petani ,(Yogyakarta: LKiS 2013), hlm. 19
[2] Ibid., hlm. 25
[3] H. Nur Syam, Tarekat Petani, (Yogyakarta: LKis Yogyakarta, 2013), hlm. 4-5.
[4] Hj. Sri Mulyati (et.al), di Indonesia Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 253.
[5] Ahmad Syafi’I Mufid, Tangklukan, Abangan, dan Tarekat Kebangkitan Agama di Jawa, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hlm. 24-25. 
[6]Ahmad Syafi’I Mufid, Tangklukan, Abangan, dan Tarekat Kebangkitan Agama di Jawa,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hlm. 172. 
[7] H. Nur Syam, Tarekat Petani, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta), hlm. 26-29.
[8] Hj. Sri Mulyati (et.al), Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 101-102.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar