AJARAN
TAREKAT ISLAM DALAM SASTRA JAWA
Islam masuk ke
Nusantara melalui peran tarekat. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya
tokoh-tokoh penyebar Islam yang sesungguhnya adalah para syaikh atau mursyid
tarekat. Sebuah kajian eksploatif yang dilakukan oleh Martin Van Bruinessen
tentang tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah di Nusantara memberikan gambaran
tentang bagaimana peran guru tarekat dalam Islamisasi di Nusantara.[1] Pada
abad ke-16 dan 17, tarekat telah menjadi bagian penting didalam kehidupan
masyarakat Islam Nusantara. Tarekat yang berkembang di abad tersebut antara
lain adalah tarekat qadiriyah wa naqsyabandiyah, syattariyah, naqsyabandiyah,
khalwatiyah, samaniyah dan alawiyah. Beberapa tarekat lain seperti tijaniyah
baru berkembang sekitar tahun 1850-an berkat tokoh tasawuf asal Kalimantan yang
bermukim di Makkah, yaitu Syaikh Ahmad Khatib Sambasi, beliau merupakan tokoh
yang berhasil memadukan antara terekat Qadirriyah dan Naqsyabandiyah.[2]
Arti tarekat sebagaimana aslinya adalah cara,
jalan, atau metode untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Cara atau metode itulah
yang masing-masing aliran tarekat dapat saja berbeda, tetapi inti atau
tujuannya sama. Itulah sebabnya seorang yang menggunakan cara-cara tertentu
agar dapat mencapai derajat dekat dengan Tuhan disebut salik (penelusur jalan). Ajaran tarekat mengajarkan pencarian makna
agama sebagai simbol suci dengan menekankan pada aspek mendalam (esoteris)
dibanding dimensi luar (eksoteris) melalui system wirid (dzikir) yang
terstruktur sedemikian rupa dalam jumlah dan caranya di bawah bimbingan mursyid
(guru tarekat). Akan tetapi melalui usaha-usaha yang dilakukan oleh Jam’iyah
Nahdlatul Ulama (NU), maka dihimpunlah tarekat yang dianggap mu’tabarah (absah)
karena memiliki jalur yang jelas sampai kepada Rasulullah dan ajaran yang tidak
bertentangan dengan islam, sehingga jumlah yang mu’tabarah kira-kira tidak
lebih dari 45 tarekat. Ajaran tarekat terkonseptualisasi dalam tiga hal mendasar, yaitu: takholli (menjauhkan diri dari segala
tindakan yang tercela), tahalli
(melakukan semua perbuatan terpuji), dan tajalli
(menghias diri dengan akhlak terpuji sehingga Allah akan menampakkan cahaya
di dalam dirinya). Dengan demikian, tarekat tidak hanya sebagai tempat untuk
berdzikir dengan hitungan-hitungan tertentu, tetapi dengan tujuan akhirnya
adalah terciptanya akhlak mulia sebagai perwujudan akhlak islam.[3]
Tarekat-tarekat yang masuk dalam wilayah Jawa, antara lain:
1.
Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ialah sebuah tarekat gabungan dari tarekat
Qadiriyah dan tarekat Naqsyabandiyah. Tarekat ini didirikan oleh Syekh Ahmad
Khatib Sambas (1802-1872) yang dikenal sebagai penulis kitab Fath al-‘Arifin.
Sambas adalah nama sebuah kota di sebelah utara Pontianak, Kalimantan Barat.[4] Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang
sekarang berkembang di Indonesia dan khususnya di Jawa adalah mengambil jalur
hubungan guru murid (silsilah) kepada Syekh Ahmad Khatib Sambas. Diantara
murid-murid Ahmad Khatib Sambas yang kemudian berpengaruh dan menjadi guru
mursyid setelah meninggalnya adalah Abdurrahim Al Bali (dari Bali), Abdul Karim
(Banten), Syekh Talhah (Cirebon), dan Kyai Ahmad Hasbullah bin Muhammad
(Madura).
Di
Jawa Tengah, mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang paling besar
pengaruhnya dan kemudian memiliki cabang-cabang hampir di semua daerah
kabupaten, seperti KH. Muslih bin Abdurrahman dari Mranggen, Demak (wafat
1918). KH. Muslih mengambil tarekat ini dari KH. Abdurrahman dari KH. Ibrahim
(Brumbung, Mranggen) yang mendapat ijazah dari Syekh Karim Banten di Mekkah.
Ulama ini banyak memberikan ijazah tarekat dan ijazah khalifah kepada beberapa
orang muridnya, yang satu diantaranya adalah KH. Ahmad Durri Nawawi, pemimpin
tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Desa Kajen, Pati yang menjadi sasaran
kajian ini. Selain membaiat beberapa orang murid untuk menjadi khalifah, KH.
Muslih juga mengarang beberapa kitab tuntunan Tarekat Qadiriyah yang menjadi
pegangan utama para pengikutnya.[5]
Sebab-sebab perkembangan tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah yang pesat itu
dikarenakan tiga faktor yaitu kyai, ajaran, dan sosial budaya. Kyai sebagai
faktor pertama adalah salah seorang putra Kyai Nawawi yang pengaruhnya sangat
luas di daerah Pati dan Jepara. Di samping keturunan, beliau adalah seorang
Kyai yang berpandangan luas dan maju, mampu melihat ke depan tentang dakwah
Islam dan memanfaatkan lembaga tarekat ini sebagai media dakwah.[6]
2.
Tarekat Syattariyah
Tarekat
Syattariyah didirikan oleh Abdullah Syattar, seorang sufi dari india yang wafat
pada tahun 1426. Semula tarekat ini berkembang di India dan salah satu muridnya
yang terlibat di dalam pengembangan tarekat adalah Muhammad Gaus Gwa (wafat
1562). Diantara muridnya juga ada yang mengembangkan taekat tersebut di Makkah
dan Madinah, yaitu Shibghatullah ibn Rullah (wafat 1606) dan juga khalifahnya
yang benama Qusyasyi (1583-1661). Beliau inilah yang mengembangkan tarekat
Syattariyah dan memiliki banyak murid dari berbagai penjuru, termasuk dari Nusantara.
Salah satu muridnya yang kemudian menjadi pengembang tarekat Syattariyah di
Sumatera hingga ke Jawa adalah Syaikh Abdurrauf al-Sinkili. Tarekat ini
berkembang di Sumatera dan Jawa melalui jalur Abdurrauf ibn Ali al-Sinkili.
Sedangkan ke Jawa melalui Syaikh Abdul Muhyi. Ia adalah murid Syaikh Abdurrauf
dari Jawa yang kemudian menjadi pengembang tarekat Syattariyah di Jawa.
Tarekat ini juga berkembang di pantai Utara Jawa. Mata
rantai yang ke Jawa Tengah bagian utara dan timur bagian utara sampai saat ini
masih remang-remang. Namun yang dari jalur Cirebon dapat diidentifikasi sebagai
berikut: Kiai Abdullah Abbas, PP. Buntet, Cirebon, ke M.Aliyuddin, Sukamantri
Tanjungkarta, dari H. Busro Karim, Rengas Dengklok. KH. Abdul Karim,
Karangtengah, Moga. K.Arwani, Maduritno, Kalihajar, H. Abdurrahman Siddiq,
Kebumen. K. Moh. Jahron, Kebondalem, Brongsong Kendal. Ahmad
Dainuri Noor, Kalibarang Kulon Progo, dan KH. Uzair Zawali, Tanggir, Singgahan
Tuban. (Mu’tamar Thoriqoh Mu’tabaroh Nahdhiyah, 1989). Tokoh tarekat di atas
belum diketahui secara pasti. Dalam salah satu silsilah ditemui jalur langsung
Jawa dengan Timur Tengah. Dalam silsilah ini ditemui hubungan langsung antara
Syaikh Ahmad Syathoni dengan Sunan Gunung Jati Cirebon. Silsilah dari Jawa Tengah
adalah sebagai berikut: Asnawi dari Syaikh Ali Mukaram Syahid, Syaikh Ibrahim
Khalil, Syaikh Abdurahman, Syaikh Husain, Syaikh Ibrahim ibn Thohir, Syaikh
Asy’ari ibn Abdullah, Syaikh Muhammad Sholih.[7]
3.
Tarekat
Naqsyabandiyah
Penyebaran
tarekat Naqsyabandiyah adalah sebuah tarekat yang mempunyai dampak dan pengaruh
yang sangat besar kepada masyarakat muslim di berbagai wilayah yang
berbeda-beda. Di Jawa Tengah cabang-cabang Tarekat Naqsyabandiyah hampir
semuanya berasal dari dua khalifah Sulaiman Zuhdi yang berpengaruh, Muhammad
Ilyas dari Sukaraja dan Muhammad Hadi dari Giri Kusumo. Muhammad Hadi adalah
orang sakti khas Jawa. Salah seorang anaknya yang sangat terkenal adalah Mansur. Ia mendirikan pesantren di Desa
Popongan antara Solo dan Klaten. Ayahnya mengajari tarekat selengkapnya dan
memberi ijazah untuk mengajar. Popongan menjadi salah satu pusat utama
Naqsyabandiyah di Jawa Tengah.
Pada perkembangan selanjutnya tarekat tersebar
ke beberapa daerah di Pulau Jawa, antara lain Rembang, Blora,
Banyumas-Purwokerto, Cirebon, Jawa Timur bagian Utara, Kediri, dan Blitar. Pada
masa itu tarekat ini telah mengalami perkembangan yang tiada terputus baik
secara geografis maupun dalam jumlah pengikut. Walaupun mengalami pasang surut, namun tarekat ini mengalami
perkembangan lagi hingga tahun 1925. Pengikut Tarekat Naqsyabandiyah terdiri
dari berbagai lapisan masyarakat, yang berstatus sosial rendah sampai lapisan
menengah dan lapisan yang lebih tinggi.[8]
Sebagai orang Jawa yang menganut tarekat melakukan berbagai
upacara atau ritual-ritual yang merupakan hasil konstruksi orang Jawa tentang
pentingnya melakukan upacara tersebut. Mereka melakukan upacara lingkungan
hidup, upacara kalenderikal, upacara hari-hari baik dan juga upacara tolak
balak. Upacara-upacara tersebut sudah menjadi bagian dalam dunia kehidupannya,
sehingga ada motif yang mendasari tindakannyatersebut. Di Jawa, hampir seluruh
penganut tarekat adalah orang NU, sehingga upacara-upacara ritual lokal
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupannya. Kajian
terhadap pendekatan tersebut akan memperoleh dunia akal sehat tentang
tindakan-tindakan yang dilakukannya. Tidak hanya itu, juga akan bias difahami
mengapa mereka melakukannya. Dunia tarekat sarat dengan makna tindakan yang
bisa diteropong dengan dua motif seseorang melakukan tindakan.
[1] H. Nur Syam, Tarekat petani ,(Yogyakarta: LKiS 2013),
hlm. 19
[2] Ibid., hlm. 25
[3] H. Nur Syam, Tarekat Petani, (Yogyakarta: LKis
Yogyakarta, 2013), hlm. 4-5.
[4] Hj. Sri Mulyati (et.al), di
Indonesia Mengenal dan Memahami
Tarekat-Tarekat Muktabarah, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 253.
[5] Ahmad Syafi’I Mufid, Tangklukan, Abangan, dan Tarekat Kebangkitan
Agama di Jawa, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hlm. 24-25.
[6]Ahmad Syafi’I Mufid, Tangklukan, Abangan, dan Tarekat Kebangkitan
Agama di Jawa,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hlm. 172.
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hlm. 172.
[7] H. Nur Syam, Tarekat Petani, (Yogyakarta: LKiS
Yogyakarta), hlm. 26-29.
[8] Hj. Sri Mulyati (et.al), Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat
Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 101-102.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar