A. Pengertian Moralitas, Spiritualitas, dan
Maqamat wa Ahwal
Menurut KBBI Moralitas adalah sopan santun,
segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau adat sopan santun. Sedangkan
Spiritualitas adalah sesuatu yang berhubungan dengan rohani atau kejiwaan seseorang.
Dalam khazanah istilah sufi, Maqamat
diartikan sebagai kedudukan-kedudukan spiritual. Kedudukan-kedudukan ini adalah
dasar dan asas yang mesti ada guna mengaktualisasikan kesempurnaan manusia dan
harus ditempuh dalam Perjalanan Kembali kepada Allah. Maqamat adalah segenap
perolehan (maqasib) melalui usaha
spiritual (mujahadah). Orang-orang
sempurna telah melampaui kedudukan-kedudukan itu hingga mencapai kedudukan
paling tinggi, yakni “bukan kedudukan” (la
maqam).
Maqamat kata jamak dari maqam, diartikan sebagai jalan sepiritual yang
harus dilalui para sufi dalam mencapai tujuan luhurnya, melalui proses
pensucian jiwa terhadap kecenderungan materi agar kembali kejalan Tuhan.
Definisi ini menurut terminology sufistik diartikan sebagai tempat atau
martabat seseorang hamba di hadapan Allah pada saat ini berdiri menghadap
kepadanya. Ia merupakan proses training,
melatih diri dalam hidup kerohanian (riyadhah),
latihan menerangi hawa nafsu (mujahadah),
dan melepaskan kegiatan dunia untuk semata-mata berbakti kepada Allah. Hal ini
senada dengan pendapat al-Qusyairi, bahwa maqam merupakan pengalaman puncak (peak-experience) yang terjadi pada
hamba Allah berkat ketinggian martabatnya sebagai hasil dari riyadhah yang
dilakukan.
Ahwal diartikan sebagai keadaan-keadaan
spiritual. Ini adalah anugerah dan karunia Allah kepada hati para penempuh
jalan spiritual, yang masing-masing mengandung banyak sekali kiasan halus, dan
setiap kiasan mengandung makna-makna yang sangat banyak. Orang yang
mendengarkan konser spiritual bisa mengalami berbagai keadaan spiritual.
Ahwal kata jamak dari hal, yakin keadaan
atau karakter spiritual yang diberikan oleh Tuhan ketika seseorang melakukan
perjalanan rohani (spiritual) melalui maqam tertentu. Ketika Tuhan
memanisfestasikan dirinya ke dalam jiwa dan hati bersih manusia dengan agung
dan indah, seseorang akan mencintai manisfestasinya tersebut dan meraskan
kegembiraan yang spesifik, seperti hati merasa dekat (qurb), perasaan cinta yang suci (mahabah), rasa optimis dan yakin (raja’), hati mersa tentram (tuma’ninah),
suka cita (uns),menerima apa adanya (qanaah) dan lain-lain. Kondisi kejiwaan
ini disebut ahwal.
B. Membentuk Moralitas dan Spiritualitas
melalui Maqamat wa Ahwal
Susunan karakter maqamat menurut
al-Kalabadzi adalah taubat, zuhud, shabr,
faqir, taqwa, tawakal, ridha, mahabah, dan ma’rifah. Al-Qusyairi merumuskan
maqamat dengan : taubah, wara’, zuhud,
tawakal, shabr dan ridha. Abu Nasr al-Sarroj menyebutkan tujuh karakter
maqamat, yaitu taubat, wara’, zuhud,
faqir, shabr, tawakal dan ridha. Sedangkan karakter yang termasuk ahwal
adalah muqarrobah, qurb, mahabah, khauf,
raja’, syauq, uns, tuma’ninah, musyahadah dan yaqin.
Menurut imam Ghozali seluruh pencapaian
pengalaman keagamaan (maqamat al-Din) terdiri
dari tiga bagian pokok, yaitu ma’rifah,
ahwal, dan a’mal (pngetahuan,
keadaan dan amal).Konsepsi maqamat dan ahwal dalam tradisi tasawuf ini sangat
mirip dengan konsepsi psikologi humanistik dari Abraham Harold Maslow, yaitu
konsepsi aktualisasi diri (self-actualization)
dan konsepsi pengalaman puncak (peak-experience).
Konsepsi pengalaman puncak (peak-experience) dari konsep psikologi
humanistik Maslow menggambarkan kondisi psikologi itu sebagai puncak kesadaran
seseorang dalam kondisi merasakan menyatu dengan alam. Atau kesadaran akan
kesatuan antara alam mikrokosmos, makrokosmos, dan metakosmos. Menurut maslow
pengalaman itu adalah pengalaman yang bersifat universal, dan merupakan
pengalaman spiritual atau keagamaan, yaitu ketika seseorang merasa tidak ada
batas lagi antara dirinya dengan alam sekitarnya.
a. Struktur Maqamat
Tujuan akhir dari perjalan spiritual adalah
kemurnian tauhid (shafa al-tauhid),
yaitu kesaksian seorang muslim dengan mengucap kalimat syahadah, la illaha illa Allah (tiada Tuhan selain
Allah). Pengakuan ini mengandung dua komitmen. Pertama, tiada Tuhan, dan kedua,
Selain Allah. Dua komitmen inilah yang menjadi dasar struktur maqamat. Komitmen
pertama merefleksikan pengosongan diri dari segala sesuatu yang buruk (takhalli), seperti maqam taubat, wara’, zuhd dan faqr. Kemudian komitmen kedua berupa
pengakuan, atau tahalli, seperti maqam shabr, tawakkal dan ridha.
1. Taubat
Maqam taubat merupakan proses dan langkah
awal perjalanan spiritual sufi yang harus dilalui dengan berhasil. Dalam proses
ini, seorang sufi harus mengosongkan dan membersihkan semua perilaku, tindakan,
perbuatan dan lain-lain yang cenderung mendorong seseorang kepada sifat, sikap
rendah dan kemaksiatan. Hal itu berlaku dalam berhubungan dengan manusia,
maupun dengan tanggungjawab kedinasan.
Dengan taubat, jiwa seseorang akan kembali
pada fitrahnya lagi. Seseorang menjadi tidak mudah luntur dalam godaan rendah,
tidak terhanyut dalam pesona duniawi dan bebas dari segala sesuatu yang dapat
menghalangi perjalanannya menemukan diri fitrinya. Ada tiga tahapan dalam usaha
orang untuk melakukan taubat.
Pertama, taubat dikalangan awam. Merupakan taubat pada
tingkatan dasar. Dia menyesali dengan sungguh-sungguh atas perbuatan salah yang
pernah dilakukan (al-nadam), kemudian
berjuang sekuat tenaga untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan tersebut, dan
menjauhkan diri dari segala tindakan maksiat dan melenyapkan semua dorongan
nafsu amarah yang dapat mengarahkan seseorang pada kemaksiatan (al-azm). Bila ia bersalah dengan orang,
ia harus meminta maaf dan bila membawah harta yang bukan haknya ia harus
mengembalikannya (al-sa’yu).
Kedua, taubat bagi orang yang telah melakukan ajaran
tasawuf, yaitu meningkatkan kadang ketaatannya pada Tuhan dengan lebih baik
lagi. Bila ketaatan itu kurang, ia akan meningkatkannya dengan lebih baik, bila
sudah baik ketaatannya pada Tuhan, ia akan meningkatkan lagi dengan ketaatan
yang baik.
Ketiga, taubatnya orang arif. Bila ia merasa hubungan
kedekatan batinnya dengan Tuhan kurang penuh, maka ia akan memperbaiki hubungan
itu dengan lebih sempurna lagi, dengan motivasi agar terus-menerus memperoleh
bimbingan dan pengawasan dari Tuhan. Seseorang yang sudah dalam tingkatan yang arif
ini, adalah orang yang mencapai derajat wara’.
Terdapat tiga syarat taubat yang mesti dipenuhi agar taubat itu
efektif, yaitu menyesali pelanggaran yang telah dilakukan, meninggalkan secara
langsung penyelewengan, dan dengan mantap memutuskan tidak kembali kepada
kemaksiatan yang sama.
Cara bertaubat ialah memisahkan diri dari orang-orang yang berbuat
jahat, karena mereka akan mendorongnya mengingkari tujuan dan menyebabkan
keraguan kelurusan niatnya yang teguh. Keteguhan dalam bersyahadah, yang akan
meningkatkan kerinduannya kepada taubat dan bersamaan dengan dorongan untuk
ketetapan hatinya memperkuat rasa takut dan berharapnya. Meninggalkan dosanya
dan bertetapan hati untuk tidak kembali ke dosa-dosa serupa di masa mendatang.
2. Wara’
Wara’ pada dasarnya berarti mengendalikan
diri. Dalam pengertian tasawuf wara’ mempunyai beberapa pengertian. Pertama, mengendalikan diri dalam semua
perjalanan hidupnya dengan tidak melakukan hal-hal yang tidak jelas hukumnya (syubhat), meskipun perbuatan itu bukan
perbuatan maksiat. Kedua,
meninggalkan dan menjauhi segala sesuatu yang tidak bermanfaat, baik menyangkut
diri sendiri maupun orang lain. Nabi saw bersabda, Sebagian dari kebaikan tindakan keislaman seseorang adalah bahwa ia menjahui
sesuatu yang tidak berarti. Nabi juga bersabda, Jadilah kamu orang-orang yang wara’ agar kamu dapat menjadi orang yang
paling tekun beribadah.
Wara’ juga terbagi atas wara’ lahiriyah dan
batiniyah. Lahiriyah berarti meninggalkan semua yang dilarang Tuhan, dan
batiniyah hanya Tuhan yang bersemayam di hatinya. Wara’ menurut para ahli adalah sebagai berikut:
Syaikh (Abu ‘Ali ad-Daqqaq) menyatakan “wara’ adalah meninggalkan
apapun yang meragukan.”
Ibrahim ibn Ad-ham menjelaskan “wara’ adalah meninggalkan apapun
yang meragukan, dan meninggalkan apapun yang tidak bersangkut paut dengan anda
berarti meninggalkan apapun yang berlebihan.”
Al-Syibli mengatakan “wara’ adalah sikap menjauhi segala sesuatu
selain Allah SWT.”
Abu Sulayman al-darani menyatakan “wara’ adalah titik tolak zuhud,
sebagaimana sikap puas terhadap apa yang ada adalah bagian utama dari ridha.”
3. Zuhud
Secara umum pengertian zuhud merupakan
sikap para sufi bagaimana dia menyikapi kehidupan dunia ini. Mereka beranggapan
bahwa dunia merupakan sumber dari kemaksiatan yang akan menjauhkan mereka dari
Tuhan. Potensi ketertarikan manusia terhadap kemewahan dan kenikmatan dunia
sangat besar, sehingga akan menjadi penghalang bagi seseorang untuk mendekati
Tuhan.
Para sufi harus memalingkan terlebih dahulu
semua aktivitas jasmani dan rohaninya dari hal-hal yang bersifat duniawi,
sehingga segala daya upaya yang dicurahkan oleh para sufi, hanya semata-mata
untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Meski ada perbedaan-perbedaan pengertian
dari para ulama’ tentang zuhud ini, namun ungkapan para sufi tetap mengarah
pada pengertian di atas. Bahkan begitu strategisnya maqam zuhud menjadi acuan
utama dari seluruh maqam-maqam lainnya.
Beberapa para ahli berpendapat mengenai zuhud adalah sebagai
berikut :
Shufyan al-Tsawri menyatakan, “zuhud terhadap dunia adalah
mengurangi keinginan untuk memperoleh dunia, bukan memakan-makanan kasar atau
mengenakan jubah dari kain kasar.”
Syaikh Abu ‘Ali al-Daqqaq mengatakan, “zuhud adalah hendaknya anda
meninggalkan dunia sebagaimana ia adanya, bukan berkata,’saya akan membangun
ribath (markas sufi) atau mendirikan masjid.”
Ibn al-Jalla’ berkomentar, “zuhud adalah sikap anda memandang dunia
ini hina, karena dunia ini fana setelah itu, maka berpaling darinya akan
menjadi mudah bagi Anda.”
Ibn Khafif menyatakan, “pertanda zuhud adalah adanya sikap tenang
ketika berpisah dari harta milik.” Dia jga menyatakan, “zuhud adalah
membebaskan hati dari sebab-sebab sekunder dan membebaskan tangan dari harta
benda.”
Ahmad ibn Hanbal memberikan penjelasan, “ada tiga macam zuhud :
bersumpah menjauhi hal yang haram adalah zuhud kaum awam, bersumpah menjauhi
keberlebihan dalam hal-hal yang halal adalah zuhud kaum terpilih, dan bersumpah
menjauhi apapun yang mengalihkan sang hamba dari Allah SWT adalah zuhud kaum
gnostik.”
4. Faqr
Ada macam interpretasi tentang maqam faqr
ini, mulai dari penafsiran yang biasa saja sampai kepada interpretasi yang
sangat ekstrim. Prinsipnya adalah tetang kondisi hidup miskin dari para sufi.
Ada interpretasi bahwa yang disebut kefaqiran adalah kondisi seseorang yang
tidak membutuhkan apapun selain Tuhan, dan itu ditandai dengan tidak adanya
harta benda.
Ada lagi yang menafsirkan bahwa faqr adalah jika tidak ada lagi
sesuatupun yang tersisa dari apa yang pernah dimiliki. Kemudian masih ada
pengertian faqr adalah kemiskinan spiritual, dan masih ada
interpretasi-interpretasi lainnya. Namun pada intinya pada sufi menganggap
bahwa faqr adalah sebuah sikap hidup
yang tidak berlebihan atau memaksakan diri untuk mengejar harta benda, kemudian
menerima seberapapun yang diberikan oleh Allah.
Akan tetapi dalam kenyataannya, para sufi
memang memilih hidup miskin, agar tidak terpecahkan konsentrasinya oleh jeratan
dunia, juga agar tetap lebih mantap menghadap kepada Tuhan. Ungkapan-ungkapan
tersebut sebenarnya menggambarkan bagaimana seseorang menyikapi harta kekayaan
di dalam hidupnya. Sebenarnya, sikap dan persepsi orang pada sesuatuitu tidak
hanya ditentukan pada materinya, tapi lebih pada pola piker yang diterapkan dalam
menanggapi sesuatu itu. Bila seseorang berpikir bahwa harta itu bisa menjadi
alat atau sarana beribadah, maka harta benda itu persepsinya adalah positif dan
punya harta benda itu atau kaya itu baik. Sebaliknya bila keberadaan harta itu
akan menyulitkan ibadah, maka memang ia akan benar-benar membawa kesulitan.
Beberapa ahli berpendapat tentang kefaqiran adalah sebagai berikut
:
Yahya bin Mu’adz mengatakan, “hakikat kefakiran adalah bahwa si
hamba tidak bergantung kepada siapa pun selain Allah dan tnda kefakiran adalah
tidak adanya harta benda.”
Ibrahim al-Qashshar mengatakan, “kefakiran adalah pakaian yang
sekali telah dipakai akan mendatangkan keridhaan.”
Sahl bin ‘Abdullah menyatakan, “ada lima contoh kemuliaan jiwa
seorang fakir : seorang yang miskin yang berpura-pura bebas dari kebutuhan,
seorang yang lapar yang berpura-pura kenyang, seorang yang bersedih yang
berpura-pura bahagia, seorang yang punya musuh tapi memperlihatkan kecintaan
terhadapnya, seseorang yang berpuasa di siang hari dan bangun di malam hari
untuk shalat tanpa memperlihatkan kelemahan.”
5. Shabr
Fungsi shabr penting dalam perjalanan
spiritual seseorang. Bagi para sufi, shabr dianggap sangat penting urgensinya,
sehingga mereka menempatkan shabr menjadi bagian penting dari struktrur maqam.
Shbar juga merupakan sikap ketundukan secara total kepada Allah dan merupakan
kondisi kejiwaan karena dorongan keimanan.
Ibnul Qayyim menganggap bahwa sabar
mengandung sikap selalu taat kepada Allah, selalu meninggalkan perbuatan dan
perilaku maksiat dan selalu sabar dalam menjalani ujian dari Allah. Yang jelas,
bahwa sabar adalah sikap konsisten seseorang dalam memegang suatu prinsip untuk
tetap konsisten seseorang dalam memegang suatu prinsip untuk tetap bertahan
dari segala macam gangguan dari luar dirinya.
Beberapa para ahli berpendapat mengenai sabar, yaitu :
Ibn ‘Atha’ menyatakan, “sabar adalah tetap tabah dalam malapetaka
dengan perilaku yang manis atau berlalunya jiwa dalam cobaan tanpa keluhan.”
Abu ‘Utsman berkomentar, “orang yang paling sabar adalah dia yang
terbiasa dalam kesengsaraan yang menimpa dan menjalani cobaan dengan sikap yang
sama seperti menghadapi kenikmatan.”
Abu “Abdallah bin Khafif menyatakan, “sabar ada tiga macam :
sabarnya orang yang berjuang untuk bersabar, sabarnya orang yang sabar, dan
sabarnya orang yang sangat sabar.”
6. Tawakkal
Tawakkal dapat dikatakan sebagai hasil dari
sikap sabar. Sehingga bila sabar sudah mampu ditegakkan, otomatis dia juga
seorang yang tawakal. Aa macam-macam definisi dari para ahli tentang tawakal ini.
Ada yang mengartikan bahwa tawakal bukan pada kedalamannya, namun pada kulit
luarnya, karena pembicaraan tentang kedalaman makna tawakal ada pada pengalaman
pribadi masing-masing sufi. Orang yang tawakkal dapat ditandai dengan selalu
menyatunya perasaan tenang dan tentram, serta penuh kerelaan atas segala yang
diterimanya.
Beberapa para ahli berpendapat tetang tawakkal, yaitu :
Ibn Atha menjelaskan, “tawakkal adalah bahwa hendaknya hasrat yang
menggebu-gebu terhadap hal-hal duniawi tidak muncul dalam dirimu meskipun
engkau sangat membutuhkannya, dan senantiasa bersikap qana’ah dengan Allah
meskipun engkau tergantung pada kebutuhan-kebutuhan duniawi itu.”
Dzun Nun al-Misri, “tawakkal kepada Allah berarti meninggalkan
strategi diri sendiri dan melucuti kekuatan dan kemampuannya, sebab si hamba
hanya mampu bertawakkal kepada Allah jika dia mengetahui bahwa Allah SWT Maha
Tahu dan Maha Melihat akan keadaannya.”
Abu Abdullah al-Qarsyi, “tawakkal berarti bersama dengan Allah SWT
dalam setiap keadaan.”
7. Ridha
Dzunnun al-Mishri berpendapat bahwa ridha
adalah menerima tawakkal dengan keikhlasan hati. Tanda-tanda orang ridha adalah
dia menerima hasil dari segala sesuatu yang dia upayakan dengan ikhlas dan
sabar sebelum datang ketentuan, dan tidak merasa cemas serta resah setelah
datangnya ketentuan. Jadi, ridha adalah keadaan mental dan kejiwaan yang
senantiasa berlapang dada dalam menerima segala karunia yang diterima, maupun
bala’ yang menimpa. Sikap mental ini adalah merupakan maqam tertinggi yang
dicapai oleh orang yang melakukan latihan spiritual.
Menurut Dzun Nun al-Mishri, “ada tiga tanda kerelaan : tidak punya
pilihan sebelum diputuskannya ketetapan Allah, tidak merasakan kepahitan
setelah diputuskannya ketetapan tersebut, dan merasakan gairah cinta di
tengah-tengah cobaan.”
b. Struktur Ahwal
Dalam struktur Ahwal ini ada karakter-karakter
: muraqabah, mahabbah, khauf, raja’,
syauq, uns, tuma’ninah, musyahadah dan
yaqin.
1. Muraqabah
Muraqabah dalam tradisi sufi adalah kondisi
batin dimana orang memposisikan dirinya pada keadaan waspada dan konsentrasi
penuh, sehingga segala pikiran dan perasaannya selalu terfokus pada kesadaran
diri yang mantab.
Muraqabah
adalah hal atau kondisi yang sangat penting, sebab segala kegiatan spiritual
dan segala perilaku dan perbuatan pada hakikatnya ditujukan untuk pendekatan
diri kepada Allah. Hal yang penting dalam muraqabah ialah sikap konsisten
terhadap perilaku yang baik, atau perilaku yang seharusnya dilakukan.
Dalam kondisi muraqabah, seseorang selalu
sadar bahwa dirinya tidak pernah terlepas dari pengawasan Allah, yang selalu
mengawasi semua niat, gerak, tindakan, dan perilaku yang dilakukannya pada
segala situasi, segala tempat, dan segala waktu. Sikap disiplin inilah yang akan
membawa seseorang pada suatu kondisi dimana ia selalu berada pada suasana
ketenangan, kedamaian, dan rasa syukur.
2.
Mahabbah
Mahabbah atau cinta adalah suatu perasaan agung dimana orang yang
mencintai memberikan seluruh keluhuran jiwanya kepada yang dicintai. Mahabbah
mengandung makna keteguhan dan kemantapan sikap untuk konsisten kepada apa yang
dicintainya, dan selalu memikirkan yang dicintainya, dan selalu memikirkan yang dicinta.
Bahkan rela mengorbankan apapun yang ia miliki demi yang dicinta.
Dalam tradisi sufi, mahabbah
dianggap tinggi nilainya dalam pencapaian sufi, sehingga menempatkan mahabbah sebagai bagian dari maqamat. Al-Junaid menyatakan bahwa seorang yang
dilanda cinta akan dipenuhi oleh ingatan pada sang kekasih, hingga tak satupun
yang tertinggal, kecuali ingatan pada sang kekasih, bahkan ia melupakan
sifatnya sendiri. Semua itu dilakukan dengan tidak sedikit pun perasaan berat
atau tertekan, melainkan semata-mata hanya kesenangan. Kesadaran cinta juga
berimplikasi pada rasa penerimaan yang mantap terhadap apapun yang terjadi di
alam semesta ini, sehingga segala sesuatu, baik yang mengandung kebaikan,
maupun kejahatan, selalu diterima dengan lapang dada.
3.
Khauf
Al-Qusyairi mengemukakan bahwa khauf berhubungan dengan sesuatu
yang belum terjadi. Khauf atau
ketakutan adalah sesuatu yang sangat tidak diharapkan akan terjadi, dan sesuatu
yang diharapkan akan sirna. Takut akan terjadinya kemurkaan Allah, dan takut
akan kehilangan cinta Allah adalah manifestasi dari khauf.
Banyak ungkapan yang dikemukakan oleh para
ahli tentang khauf ini, tapi
prinsipnya takut yang dimaksudkan itu adalah perasaan takut yang ditimbulkan
dari perbuatan yang dilakukan. Seseorang yang diliputi rasa takut, akan berbuat
yang lebih baik agar kelak mendapatkan kebaikan pada waktu yang akan datang.
Tindakannya selalu dengan pertimbangan kebaikan dalam jangka panjang dan bukan
hanya untuk kesenangan sesaat.
4.
Raja’
Raja’ dapat dikatakan kebalikan dari khauf. Kalau khauf, takut
sesuatu akan terjadi, maka raja’ justru berharap sesuatu agar terjadi. Ada
perbedaan antara berharap (raja’) dengan berangan-angan (tamanni). Berharap
berarti menginginkan sesuatu agar dapat terjadi sesuai keinginan, sementara
berangan-angan berarti menginginkan sesuatu terjadi tanpa suatu usaha (hanya
menunggu).
Jadi, penerapannya adalah khauf diperlukan bagi orang yang telah
melakukan kesalahan, agar tidak mengulangi lagi, atau bahkan meningkatkan
kebaikan. Sedangkan raja’ diperlukan
dalam rangka memupuk optimism, agar apa yang diharapkan terlaksana dengan baik.
5.
Syauq
Syauq adalah rindu. Rindu adalah kondisi suatu perasaan di mana
seseorang atau individu selalu ingin bertemu dengan yang dirindukan atau yang
dicintai. Seorang hamba yang dilanda kerinduan kepada Allah SWT, selalu ingin
terus berdekatan dengan-Nya. Kerinduan juga berarti penumpahan segala energi
yang terbaik kepada titik tertentu yang dianggapnya sebagai kebenaran yang
hakiki, sehingga tidak tergoyahkan oleh segala godaan dan kecenderungan yang
akan menjauhkannya dari kebenaran itu, yaitu kebenaran Ilahi Rabbi. Sehingga segala
pikiran, sikap dan perilakunya hanya akan tertuju pada kebenaran itu.
6.
Uns
Ketika seseorang didekati oleh apa yang paling didambakannya, akan
merasakan suatu perasaan gembira dan senang yang teramat indah dijiwanya,
perasaan inilah disebut uns. Kebahagiaan, kegembiraan, kesenangan, serta rasa
sukacita yang membara karena merasakan kedekatan dengan Allah yang sangat
dicintainya, semuanya itu akan semakin mempekakan batinnya. Kepekaan batin yang
terjadi karena intensnya latihan-latihan spiritual (mujahadah)yang dilakukan ini akan membuat seseorang merasakan
suatu luapan kerinduan, keterharuan, keterpesonaan dan sentuhan-sentuhan
keindahan yang sulit untuk dilukiskan.
7.
Tuma’ninah
Tuma’ninah adalah suasana ketentraman hati karena terpengaruh
(tervibrasi) oleh sesuatu yang lain. Menurut Ibnu Qayyim, “kebenaran adalah
identik dengan ketentraman, sedangkan kebohongan adalah identik dengan keraguan
dan kegelisahan.” Nabi juga bersabda “kebenaran
adalah sesuatu yang menenangkan hati.”
8.
Musyahadah
Ada rangkaian kaitan antara musyahadah, muhadharah, dan mukasyafah. Muhadharah
berarti kehadiran kalbu. Sedangkan mukasyafah
adalah kehadiran kalbu dengan sifat yang nyata. Dan Musyahadah adalah kehadiran al-Haqq dengan tanpa dibayangkan. Orang yang
mengalami musyahadah, jiwanya terang benderang penuh dengan cahaya ketuhanan,
seolah mampu mengubah malam yang gelap gulita, menjadi terang benderang oleh
cahaya kalbunya yang terus-menerus bersinar-sinar terang.
Al-Junaid menggambarkan seseorang yang
mengalami tahap muhadharah selalu
terikat dengan sifat-sifat Tuhan, dan orang yang mukasyafah selalu terhampar oleh sifat-sifat Tuhan. Sedangkan musyahadah ditemukan Dzan Tuhan.
9.
Yaqin
Yaqin mengandung tiga macam unsur, yaitu ‘ilm al-yaqin, ‘ain
al-yaqin dan haqq al-yaqin. ‘Ilm al-yaqin adalah sesuatu yang dianggap ada
setelah ada pembuktian. ‘Ain al-yaqin adalah sesuatu yang ada setelah dapat
dijelaskan. Sedangkan haqq al-yaqin adalah sesuatu yang ada dengan sifat-sifat
yang sudah sesuai dengan kenyataannya. Secara umum yaqin dapat dijelaskan
sebagai keyakinan yang kuat terhadap suatu kebenaran, berdasarkan kesaksian
dari realitas seluruh aspek yang ada.