Sabtu, 15 Oktober 2016

PEMBENTUKAN MORALITAS DAN SPIRITUALITAS MELALUI MAQAMAT WA AHWAL DALAM TASAWUF



A.  Pengertian Moralitas, Spiritualitas, dan Maqamat wa Ahwal
Menurut KBBI Moralitas adalah sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau adat sopan santun. Sedangkan Spiritualitas adalah sesuatu yang berhubungan dengan  rohani atau kejiwaan seseorang.
Dalam khazanah istilah sufi, Maqamat diartikan sebagai kedudukan-kedudukan spiritual. Kedudukan-kedudukan ini adalah dasar dan asas yang mesti ada guna mengaktualisasikan kesempurnaan manusia dan harus ditempuh dalam Perjalanan Kembali kepada Allah. Maqamat adalah segenap perolehan (maqasib) melalui usaha spiritual (mujahadah). Orang-orang sempurna telah melampaui kedudukan-kedudukan itu hingga mencapai kedudukan paling tinggi, yakni “bukan kedudukan” (la maqam).
Maqamat kata jamak dari maqam, diartikan sebagai jalan sepiritual yang harus dilalui para sufi dalam mencapai tujuan luhurnya, melalui proses pensucian jiwa terhadap kecenderungan materi agar kembali kejalan Tuhan. Definisi ini menurut terminology sufistik diartikan sebagai tempat atau martabat seseorang hamba di hadapan Allah pada saat ini berdiri menghadap kepadanya. Ia merupakan proses training, melatih diri dalam hidup kerohanian (riyadhah), latihan menerangi hawa nafsu (mujahadah), dan melepaskan kegiatan dunia untuk semata-mata berbakti kepada Allah. Hal ini senada dengan pendapat al-Qusyairi, bahwa maqam merupakan pengalaman puncak (peak-experience) yang terjadi pada hamba Allah berkat ketinggian martabatnya sebagai hasil dari riyadhah yang dilakukan.
Ahwal diartikan sebagai keadaan-keadaan spiritual. Ini adalah anugerah dan karunia Allah kepada hati para penempuh jalan spiritual, yang masing-masing mengandung banyak sekali kiasan halus, dan setiap kiasan mengandung makna-makna yang sangat banyak. Orang yang mendengarkan konser spiritual bisa mengalami berbagai keadaan spiritual.[1]
Ahwal kata jamak dari hal, yakin keadaan atau karakter spiritual yang diberikan oleh Tuhan ketika seseorang melakukan perjalanan rohani (spiritual) melalui maqam tertentu. Ketika Tuhan memanisfestasikan dirinya ke dalam jiwa dan hati bersih manusia dengan agung dan indah, seseorang akan mencintai manisfestasinya tersebut dan meraskan kegembiraan yang spesifik, seperti hati merasa dekat (qurb), perasaan cinta yang suci (mahabah), rasa optimis dan yakin (raja’), hati mersa tentram (tuma’ninah), suka cita (uns),menerima apa adanya (qanaah) dan lain-lain. Kondisi kejiwaan ini disebut ahwal.

B.  Membentuk Moralitas dan Spiritualitas melalui Maqamat wa Ahwal
Susunan karakter maqamat menurut al-Kalabadzi adalah taubat, zuhud, shabr, faqir, taqwa, tawakal, ridha, mahabah, dan ma’rifah. Al-Qusyairi merumuskan maqamat dengan : taubah, wara’, zuhud, tawakal, shabr dan ridha. Abu Nasr al-Sarroj menyebutkan tujuh karakter maqamat, yaitu taubat, wara’, zuhud, faqir, shabr, tawakal dan ridha. Sedangkan karakter yang termasuk ahwal adalah muqarrobah, qurb, mahabah, khauf, raja’, syauq, uns, tuma’ninah, musyahadah dan yaqin.
Menurut imam Ghozali seluruh pencapaian pengalaman keagamaan (maqamat al-Din) terdiri dari tiga bagian pokok, yaitu ma’rifah, ahwal, dan a’mal (pngetahuan, keadaan dan amal).Konsepsi maqamat dan ahwal dalam tradisi tasawuf ini sangat mirip dengan konsepsi psikologi humanistik dari Abraham Harold Maslow, yaitu konsepsi aktualisasi diri (self-actualization) dan konsepsi pengalaman puncak (peak-experience).
Konsepsi pengalaman puncak (peak-experience) dari konsep psikologi humanistik Maslow menggambarkan kondisi psikologi itu sebagai puncak kesadaran seseorang dalam kondisi merasakan menyatu dengan alam. Atau kesadaran akan kesatuan antara alam mikrokosmos, makrokosmos, dan metakosmos. Menurut maslow pengalaman itu adalah pengalaman yang bersifat universal, dan merupakan pengalaman spiritual atau keagamaan, yaitu ketika seseorang merasa tidak ada batas lagi antara dirinya dengan alam sekitarnya.
a.    Struktur Maqamat
Tujuan akhir dari perjalan spiritual adalah kemurnian tauhid (shafa al-tauhid), yaitu kesaksian seorang muslim dengan mengucap kalimat syahadah, la illaha illa Allah (tiada Tuhan selain Allah). Pengakuan ini mengandung dua komitmen. Pertama, tiada Tuhan, dan kedua, Selain Allah. Dua komitmen inilah yang menjadi dasar struktur maqamat. Komitmen pertama merefleksikan pengosongan diri dari segala sesuatu yang buruk (takhalli), seperti maqam taubat, wara’, zuhd dan faqr. Kemudian komitmen kedua berupa pengakuan,  atau tahalli, seperti maqam shabr, tawakkal dan ridha.
1.    Taubat
Maqam taubat merupakan proses dan langkah awal perjalanan spiritual sufi yang harus dilalui dengan berhasil. Dalam proses ini, seorang sufi harus mengosongkan dan membersihkan semua perilaku, tindakan, perbuatan dan lain-lain yang cenderung mendorong seseorang kepada sifat, sikap rendah dan kemaksiatan. Hal itu berlaku dalam berhubungan dengan manusia, maupun dengan tanggungjawab kedinasan.
Dengan taubat, jiwa seseorang akan kembali pada fitrahnya lagi. Seseorang menjadi tidak mudah luntur dalam godaan rendah, tidak terhanyut dalam pesona duniawi dan bebas dari segala sesuatu yang dapat menghalangi perjalanannya menemukan diri fitrinya. Ada tiga tahapan dalam usaha orang untuk melakukan taubat.
Pertama, taubat dikalangan awam. Merupakan taubat pada tingkatan dasar. Dia menyesali dengan sungguh-sungguh atas perbuatan salah yang pernah dilakukan (al-nadam), kemudian berjuang sekuat tenaga untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan tersebut, dan menjauhkan diri dari segala tindakan maksiat dan melenyapkan semua dorongan nafsu amarah yang dapat mengarahkan seseorang pada kemaksiatan (al-azm). Bila ia bersalah dengan orang, ia harus meminta maaf dan bila membawah harta yang bukan haknya ia harus mengembalikannya (al-sa’yu).
Kedua, taubat bagi orang yang telah melakukan ajaran tasawuf, yaitu meningkatkan kadang ketaatannya pada Tuhan dengan lebih baik lagi. Bila ketaatan itu kurang, ia akan meningkatkannya dengan lebih baik, bila sudah baik ketaatannya pada Tuhan, ia akan meningkatkan lagi dengan ketaatan yang baik.
Ketiga, taubatnya orang arif. Bila ia merasa hubungan kedekatan batinnya dengan Tuhan kurang penuh, maka ia akan memperbaiki hubungan itu dengan lebih sempurna lagi, dengan motivasi agar terus-menerus memperoleh bimbingan dan pengawasan dari Tuhan. Seseorang yang sudah dalam tingkatan yang arif ini, adalah orang yang mencapai derajat wara’.[2]
Terdapat tiga syarat taubat yang mesti dipenuhi agar taubat itu efektif, yaitu menyesali pelanggaran yang telah dilakukan, meninggalkan secara langsung penyelewengan, dan dengan mantap memutuskan tidak kembali kepada kemaksiatan yang sama.
Cara bertaubat ialah memisahkan diri dari orang-orang yang berbuat jahat, karena mereka akan mendorongnya mengingkari tujuan dan menyebabkan keraguan kelurusan niatnya yang teguh. Keteguhan dalam bersyahadah, yang akan meningkatkan kerinduannya kepada taubat dan bersamaan dengan dorongan untuk ketetapan hatinya memperkuat rasa takut dan berharapnya. Meninggalkan dosanya dan bertetapan hati untuk tidak kembali ke dosa-dosa serupa di masa mendatang.[3]
2.    Wara’
Wara’ pada dasarnya berarti mengendalikan diri. Dalam pengertian tasawuf wara’ mempunyai beberapa pengertian. Pertama, mengendalikan diri dalam semua perjalanan hidupnya dengan tidak melakukan hal-hal yang tidak jelas hukumnya (syubhat), meskipun perbuatan itu bukan perbuatan maksiat. Kedua, meninggalkan dan menjauhi segala sesuatu yang tidak bermanfaat, baik menyangkut diri sendiri maupun orang lain. Nabi saw bersabda, Sebagian dari kebaikan tindakan keislaman seseorang adalah bahwa ia menjahui sesuatu yang tidak berarti. Nabi juga bersabda, Jadilah kamu orang-orang yang wara’ agar kamu dapat menjadi orang yang paling tekun beribadah.
Wara’ juga terbagi atas wara’ lahiriyah dan batiniyah. Lahiriyah berarti meninggalkan semua yang dilarang Tuhan, dan batiniyah hanya Tuhan yang bersemayam di hatinya.[4] Wara’ menurut para ahli adalah sebagai berikut:
Syaikh (Abu ‘Ali ad-Daqqaq) menyatakan “wara’ adalah meninggalkan apapun yang meragukan.”
Ibrahim ibn Ad-ham menjelaskan “wara’ adalah meninggalkan apapun yang meragukan, dan meninggalkan apapun yang tidak bersangkut paut dengan anda berarti meninggalkan apapun yang berlebihan.”
Al-Syibli mengatakan “wara’ adalah sikap menjauhi segala sesuatu selain Allah SWT.”
Abu Sulayman al-darani menyatakan “wara’ adalah titik tolak zuhud, sebagaimana sikap puas terhadap apa yang ada adalah bagian utama dari ridha.”[5]
3.    Zuhud
Secara umum pengertian zuhud merupakan sikap para sufi bagaimana dia menyikapi kehidupan dunia ini. Mereka beranggapan bahwa dunia merupakan sumber dari kemaksiatan yang akan menjauhkan mereka dari Tuhan. Potensi ketertarikan manusia terhadap kemewahan dan kenikmatan dunia sangat besar, sehingga akan menjadi penghalang bagi seseorang untuk mendekati Tuhan.
Para sufi harus memalingkan terlebih dahulu semua aktivitas jasmani dan rohaninya dari hal-hal yang bersifat duniawi, sehingga segala daya upaya yang dicurahkan oleh para sufi, hanya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Meski ada perbedaan-perbedaan pengertian dari para ulama’ tentang zuhud ini, namun ungkapan para sufi tetap mengarah pada pengertian di atas. Bahkan begitu strategisnya maqam zuhud menjadi acuan utama dari seluruh maqam-maqam lainnya.
Beberapa para ahli berpendapat mengenai zuhud adalah sebagai berikut :
Shufyan al-Tsawri menyatakan, “zuhud terhadap dunia adalah mengurangi keinginan untuk memperoleh dunia, bukan memakan-makanan kasar atau mengenakan jubah dari kain kasar.”
Syaikh Abu ‘Ali al-Daqqaq mengatakan, “zuhud adalah hendaknya anda meninggalkan dunia sebagaimana ia adanya, bukan berkata,’saya akan membangun ribath (markas sufi) atau mendirikan masjid.”
Ibn al-Jalla’ berkomentar, “zuhud adalah sikap anda memandang dunia ini hina, karena dunia ini fana setelah itu, maka berpaling darinya akan menjadi mudah bagi Anda.”
Ibn Khafif menyatakan, “pertanda zuhud adalah adanya sikap tenang ketika berpisah dari harta milik.” Dia jga menyatakan, “zuhud adalah membebaskan hati dari sebab-sebab sekunder dan membebaskan tangan dari harta benda.”
Ahmad ibn Hanbal memberikan penjelasan, “ada tiga macam zuhud : bersumpah menjauhi hal yang haram adalah zuhud kaum awam, bersumpah menjauhi keberlebihan dalam hal-hal yang halal adalah zuhud kaum terpilih, dan bersumpah menjauhi apapun yang mengalihkan sang hamba dari Allah SWT adalah zuhud kaum gnostik.”[6]
4.    Faqr
Ada macam interpretasi tentang maqam faqr ini, mulai dari penafsiran yang biasa saja sampai kepada interpretasi yang sangat ekstrim. Prinsipnya adalah tetang kondisi hidup miskin dari para sufi. Ada interpretasi bahwa yang disebut kefaqiran adalah kondisi seseorang yang tidak membutuhkan apapun selain Tuhan, dan itu ditandai dengan tidak adanya harta benda.
Ada lagi yang menafsirkan bahwa faqr adalah jika tidak ada lagi sesuatupun yang tersisa dari apa yang pernah dimiliki. Kemudian masih ada pengertian faqr adalah kemiskinan spiritual, dan masih ada interpretasi-interpretasi lainnya. Namun pada intinya pada sufi menganggap bahwa faqr adalah sebuah sikap hidup yang tidak berlebihan atau memaksakan diri untuk mengejar harta benda, kemudian menerima seberapapun yang diberikan oleh Allah.[7]
Akan tetapi dalam kenyataannya, para sufi memang memilih hidup miskin, agar tidak terpecahkan konsentrasinya oleh jeratan dunia, juga agar tetap lebih mantap menghadap kepada Tuhan. Ungkapan-ungkapan tersebut sebenarnya menggambarkan bagaimana seseorang menyikapi harta kekayaan di dalam hidupnya. Sebenarnya, sikap dan persepsi orang pada sesuatuitu tidak hanya ditentukan pada materinya, tapi lebih pada pola piker yang diterapkan dalam menanggapi sesuatu itu. Bila seseorang berpikir bahwa harta itu bisa menjadi alat atau sarana beribadah, maka harta benda itu persepsinya adalah positif dan punya harta benda itu atau kaya itu baik. Sebaliknya bila keberadaan harta itu akan menyulitkan ibadah, maka memang ia akan benar-benar membawa kesulitan.
Beberapa ahli berpendapat tentang kefaqiran adalah sebagai berikut :
Yahya bin Mu’adz mengatakan, “hakikat kefakiran adalah bahwa si hamba tidak bergantung kepada siapa pun selain Allah dan tnda kefakiran adalah tidak adanya harta benda.”
Ibrahim al-Qashshar mengatakan, “kefakiran adalah pakaian yang sekali telah dipakai akan mendatangkan keridhaan.”
Sahl bin ‘Abdullah menyatakan, “ada lima contoh kemuliaan jiwa seorang fakir : seorang yang miskin yang berpura-pura bebas dari kebutuhan, seorang yang lapar yang berpura-pura kenyang, seorang yang bersedih yang berpura-pura bahagia, seorang yang punya musuh tapi memperlihatkan kecintaan terhadapnya, seseorang yang berpuasa di siang hari dan bangun di malam hari untuk shalat tanpa memperlihatkan kelemahan.”[8]
5.    Shabr
Fungsi shabr penting dalam perjalanan spiritual seseorang. Bagi para sufi, shabr dianggap sangat penting urgensinya, sehingga mereka menempatkan shabr menjadi bagian penting dari struktrur maqam. Shbar juga merupakan sikap ketundukan secara total kepada Allah dan merupakan kondisi kejiwaan karena dorongan keimanan.[9]
Ibnul Qayyim menganggap bahwa sabar mengandung sikap selalu taat kepada Allah, selalu meninggalkan perbuatan dan perilaku maksiat dan selalu sabar dalam menjalani ujian dari Allah. Yang jelas, bahwa sabar adalah sikap konsisten seseorang dalam memegang suatu prinsip untuk tetap konsisten seseorang dalam memegang suatu prinsip untuk tetap bertahan dari segala macam gangguan dari luar dirinya. 
Beberapa para ahli berpendapat mengenai sabar, yaitu :
Ibn ‘Atha’ menyatakan, “sabar adalah tetap tabah dalam malapetaka dengan perilaku yang manis atau berlalunya jiwa dalam cobaan tanpa keluhan.”
Abu ‘Utsman berkomentar, “orang yang paling sabar adalah dia yang terbiasa dalam kesengsaraan yang menimpa dan menjalani cobaan dengan sikap yang sama seperti menghadapi kenikmatan.”
Abu “Abdallah bin Khafif menyatakan, “sabar ada tiga macam : sabarnya orang yang berjuang untuk bersabar, sabarnya orang yang sabar, dan sabarnya orang yang sangat sabar.”[10]
6.    Tawakkal
Tawakkal dapat dikatakan sebagai hasil dari sikap sabar. Sehingga bila sabar sudah mampu ditegakkan, otomatis dia juga seorang yang tawakal. Aa macam-macam definisi dari para ahli tentang tawakal ini. Ada yang mengartikan bahwa tawakal bukan pada kedalamannya, namun pada kulit luarnya, karena pembicaraan tentang kedalaman makna tawakal ada pada pengalaman pribadi masing-masing sufi. Orang yang tawakkal dapat ditandai dengan selalu menyatunya perasaan tenang dan tentram, serta penuh kerelaan atas segala yang diterimanya.[11]
Beberapa para ahli berpendapat tetang tawakkal, yaitu :
Ibn Atha menjelaskan, “tawakkal adalah bahwa hendaknya hasrat yang menggebu-gebu terhadap hal-hal duniawi tidak muncul dalam dirimu meskipun engkau sangat membutuhkannya, dan senantiasa bersikap qana’ah dengan Allah meskipun engkau tergantung pada kebutuhan-kebutuhan duniawi itu.”
Dzun Nun al-Misri, “tawakkal kepada Allah berarti meninggalkan strategi diri sendiri dan melucuti kekuatan dan kemampuannya, sebab si hamba hanya mampu bertawakkal kepada Allah jika dia mengetahui bahwa Allah SWT Maha Tahu dan Maha Melihat akan keadaannya.”
Abu Abdullah al-Qarsyi, “tawakkal berarti bersama dengan Allah SWT dalam setiap keadaan.”[12]



7.    Ridha
Dzunnun al-Mishri berpendapat bahwa ridha adalah menerima tawakkal dengan keikhlasan hati. Tanda-tanda orang ridha adalah dia menerima hasil dari segala sesuatu yang dia upayakan dengan ikhlas dan sabar sebelum datang ketentuan, dan tidak merasa cemas serta resah setelah datangnya ketentuan. Jadi, ridha adalah keadaan mental dan kejiwaan yang senantiasa berlapang dada dalam menerima segala karunia yang diterima, maupun bala’ yang menimpa. Sikap mental ini adalah merupakan maqam tertinggi yang dicapai oleh orang yang melakukan latihan spiritual.[13]
Menurut Dzun Nun al-Mishri, “ada tiga tanda kerelaan : tidak punya pilihan sebelum diputuskannya ketetapan Allah, tidak merasakan kepahitan setelah diputuskannya ketetapan tersebut, dan merasakan gairah cinta di tengah-tengah cobaan.”[14]
b.   Struktur Ahwal
Dalam struktur Ahwal ini ada karakter-karakter : muraqabah, mahabbah, khauf, raja’, syauq, uns, tuma’ninah, musyahadah dan yaqin.
1.    Muraqabah
Muraqabah dalam tradisi sufi adalah kondisi batin dimana orang memposisikan dirinya pada keadaan waspada dan konsentrasi penuh, sehingga segala pikiran dan perasaannya selalu terfokus pada kesadaran diri yang mantab.
Muraqabah adalah hal atau kondisi yang sangat penting, sebab segala kegiatan spiritual dan segala perilaku dan perbuatan pada hakikatnya ditujukan untuk pendekatan diri kepada Allah. Hal yang penting dalam muraqabah ialah sikap konsisten terhadap perilaku yang baik, atau perilaku yang seharusnya dilakukan.
Dalam kondisi muraqabah, seseorang selalu sadar bahwa dirinya tidak pernah terlepas dari pengawasan Allah, yang selalu mengawasi semua niat, gerak, tindakan, dan perilaku yang dilakukannya pada segala situasi, segala tempat, dan segala waktu. Sikap disiplin inilah yang akan membawa seseorang pada suatu kondisi dimana ia selalu berada pada suasana ketenangan, kedamaian, dan rasa syukur.

2.    Mahabbah
Mahabbah atau cinta adalah suatu perasaan agung dimana orang yang mencintai memberikan seluruh keluhuran jiwanya kepada yang dicintai. Mahabbah mengandung makna keteguhan dan kemantapan sikap untuk konsisten kepada apa yang dicintainya, dan selalu memikirkan yang dicintainya, dan selalu memikirkan yang dicinta. Bahkan rela mengorbankan apapun yang ia miliki demi yang dicinta.
 Dalam tradisi sufi, mahabbah dianggap tinggi nilainya dalam pencapaian sufi, sehingga menempatkan mahabbah sebagai bagian dari maqamat. Al-Junaid menyatakan bahwa seorang yang dilanda cinta akan dipenuhi oleh ingatan pada sang kekasih, hingga tak satupun yang tertinggal, kecuali ingatan pada sang kekasih, bahkan ia melupakan sifatnya sendiri. Semua itu dilakukan dengan tidak sedikit pun perasaan berat atau tertekan, melainkan semata-mata hanya kesenangan. Kesadaran cinta juga berimplikasi pada rasa penerimaan yang mantap terhadap apapun yang terjadi di alam semesta ini, sehingga segala sesuatu, baik yang mengandung kebaikan, maupun kejahatan, selalu diterima dengan lapang dada.  
3.    Khauf
Al-Qusyairi mengemukakan bahwa khauf berhubungan dengan sesuatu yang belum terjadi. Khauf atau ketakutan adalah sesuatu yang sangat tidak diharapkan akan terjadi, dan sesuatu yang diharapkan akan sirna. Takut akan terjadinya kemurkaan Allah, dan takut akan kehilangan cinta Allah adalah manifestasi dari khauf.
Banyak ungkapan yang dikemukakan oleh para ahli tentang khauf ini, tapi prinsipnya takut yang dimaksudkan itu adalah perasaan takut yang ditimbulkan dari perbuatan yang dilakukan. Seseorang yang diliputi rasa takut, akan berbuat yang lebih baik agar kelak mendapatkan kebaikan pada waktu yang akan datang. Tindakannya selalu dengan pertimbangan kebaikan dalam jangka panjang dan bukan hanya untuk kesenangan sesaat.
4.    Raja’
Raja’ dapat dikatakan kebalikan dari khauf. Kalau khauf, takut sesuatu akan terjadi, maka raja’ justru berharap sesuatu agar terjadi. Ada perbedaan antara berharap (raja’) dengan berangan-angan (tamanni). Berharap berarti menginginkan sesuatu agar dapat terjadi sesuai keinginan, sementara berangan-angan berarti menginginkan sesuatu terjadi tanpa suatu usaha (hanya menunggu).
Jadi, penerapannya adalah khauf diperlukan bagi orang yang telah melakukan kesalahan, agar tidak mengulangi lagi, atau bahkan meningkatkan kebaikan. Sedangkan raja’ diperlukan dalam rangka memupuk optimism, agar apa yang diharapkan terlaksana dengan baik.
5.    Syauq
Syauq adalah rindu. Rindu adalah kondisi suatu perasaan di mana seseorang atau individu selalu ingin bertemu dengan yang dirindukan atau yang dicintai. Seorang hamba yang dilanda kerinduan kepada Allah SWT, selalu ingin terus berdekatan dengan-Nya. Kerinduan juga berarti penumpahan segala energi yang terbaik kepada titik tertentu yang dianggapnya sebagai kebenaran yang hakiki, sehingga tidak tergoyahkan oleh segala godaan dan kecenderungan yang akan menjauhkannya dari kebenaran itu, yaitu kebenaran Ilahi Rabbi. Sehingga segala pikiran, sikap dan perilakunya hanya akan tertuju pada kebenaran itu.
6.    Uns
Ketika seseorang didekati oleh apa yang paling didambakannya, akan merasakan suatu perasaan gembira dan senang yang teramat indah dijiwanya, perasaan inilah disebut uns. Kebahagiaan, kegembiraan, kesenangan, serta rasa sukacita yang membara karena merasakan kedekatan dengan Allah yang sangat dicintainya, semuanya itu akan semakin mempekakan batinnya. Kepekaan batin yang terjadi karena intensnya latihan-latihan spiritual (mujahadah)yang dilakukan ini akan membuat seseorang merasakan suatu luapan kerinduan, keterharuan, keterpesonaan dan sentuhan-sentuhan keindahan yang sulit untuk dilukiskan.
7.    Tuma’ninah
Tuma’ninah adalah suasana ketentraman hati karena terpengaruh (tervibrasi) oleh sesuatu yang lain. Menurut Ibnu Qayyim, “kebenaran adalah identik dengan ketentraman, sedangkan kebohongan adalah identik dengan keraguan dan kegelisahan.” Nabi juga bersabda “kebenaran adalah sesuatu yang menenangkan hati.”


8.    Musyahadah
Ada rangkaian kaitan antara musyahadah, muhadharah, dan mukasyafah. Muhadharah berarti kehadiran kalbu. Sedangkan mukasyafah adalah kehadiran kalbu dengan sifat yang nyata. Dan Musyahadah adalah kehadiran al-Haqq dengan tanpa dibayangkan. Orang yang mengalami musyahadah, jiwanya terang benderang penuh dengan cahaya ketuhanan, seolah mampu mengubah malam yang gelap gulita, menjadi terang benderang oleh cahaya kalbunya yang terus-menerus bersinar-sinar terang.
Al-Junaid menggambarkan seseorang yang mengalami tahap muhadharah selalu terikat dengan sifat-sifat Tuhan, dan orang yang mukasyafah selalu terhampar oleh sifat-sifat Tuhan. Sedangkan musyahadah ditemukan Dzan Tuhan.
9.    Yaqin
Yaqin mengandung tiga macam unsur, yaitu ‘ilm al-yaqin, ‘ain al-yaqin dan haqq al-yaqin. ‘Ilm al-yaqin adalah sesuatu yang dianggap ada setelah ada pembuktian. ‘Ain al-yaqin adalah sesuatu yang ada setelah dapat dijelaskan. Sedangkan haqq al-yaqin adalah sesuatu yang ada dengan sifat-sifat yang sudah sesuai dengan kenyataannya. Secara umum yaqin dapat dijelaskan sebagai keyakinan yang kuat terhadap suatu kebenaran, berdasarkan kesaksian dari realitas seluruh aspek yang ada.[15]













[1] Amatullah Armstrong.Kunci Memasuki Dunia Tasawuf.(Bandung:Mizan,1996).hlm22
[2] Moenir Nahrowi Tohir. Menjelajahi Eksistensi Tasawuf Meneliti Jalam Menuju Tuhan. (Jakarta : PT. As-Salam Sejahtera, 2012). Hlm 93-96.
[3] ‘Abd al-Karim ibn Hazawin al-Qusyayri. Risalah Sufi al-Qursyayri. (Bandung : PUSTAKA, 1990). Hlm 2-3.
[4] Moenir Nahrowi Tohir. Menjelajahi Eksistensi Tasawuf Meneliti Jalam Menuju Tuhan. (Jakarta : PT. As-Salam Sejahtera, 2012). Hlm 96-97.
[5] ‘Abd al-Karim ibn Hazawin al-Qusyayri. Risalah Sufi al-Qursyayri. (Bandung : PUSTAKA, 1990). Hlm 31-32.
[6] ‘Abd al-Karim ibn Hazawin al-Qusyayri. Risalah Sufi al-Qursyayri. (Bandung : PUSTAKA, 1990). Hlm 40-44.
[7] Moenir Nahrowi Tohir. Menjelajahi Eksistensi Tasawuf Meneliti Jalam Menuju Tuhan. (Jakarta : PT. As-Salam Sejahtera, 2012). Hlm 98.
[8] ‘Abd al-Karim ibn Hazawin al-Qusyayri. Risalah Sufi al-Qursyayri. (Bandung : PUSTAKA, 1990). Hlm 286-289.
[9] Moenir Nahrowi Tohir. Menjelajahi Eksistensi Tasawuf Meneliti Jalam Menuju Tuhan. (Jakarta : PT. As-Salam Sejahtera, 2012). Hlm 99.
[10] ‘Abd al-Karim ibn Hazawin al-Qusyayri. Risalah Sufi al-Qursyayri. (Bandung : PUSTAKA, 1990). Hlm 146-147.
[11] Moenir Nahrowi Tohir. Menjelajahi Eksistensi Tasawuf Meneliti Jalam Menuju Tuhan. (Jakarta : PT. As-Salam Sejahtera, 2012). Hlm 100.
[12] ‘Abd al-Karim ibn Hazawin al-Qusyayri. Risalah Sufi al-Qursyayri. (Bandung : PUSTAKA, 1990). Hlm 113-115.
[13] Moenir Nahrowi Tohir. Menjelajahi Eksistensi Tasawuf Meneliti Jalam Menuju Tuhan. (Jakarta : PT. As-Salam Sejahtera, 201)2. Hlm 100-101.
[14] ‘Abd al-Karim ibn Hazawin al-Qusyayri. Risalah Sufi al-Qursyayri. (Bandung : PUSTAKA, 1990). Hlm 163.
[15] Moenir Nahrowi Tohir. Menjelajahi Eksistensi Tasawuf Meneliti Jalam Menuju Tuhan. (Jakarta : PT. As-Salam Sejahtera, 2012). Hlm 101-105.