Sabtu, 15 Oktober 2016

Sejarah Pemikiran dan Pergerakan Gender




Benih-benih gerakan kesetaraan gender (feminisme) mulai muncul pada abad ke-19. Gerakan yang terhimpun dalam wadah Women Liberation (Gerakan Pembebasan Wanita) ini berpusat di Amerika. Arah perjuangan Women’s Liberation adalah untuk mendapatkan persamaan hak antara kaum wanita dan kaum pria. Dalam perjuangannya, gerakan ini sering turun ke jalan untuk menggelar demonstrasi maupun pemboikatan.
Memasuki awal abad ke-20, gerakan Women’s Liberation mulai memfokuskan aktifitasnya pada perjuangan untuk mendapatkan hak pilih. Pada waktu itu, suara kaum wanita disejajarkan dengan anak-anak sehingga mereka tidak memiliki hak pilih. Pada tahun 1948, sejumlah wanita menggelar unjuk rasa di Seneca Fall, New York untuk menuntut hak-hak mereka sebagai warga negara.
Selanjutnya, gerakan kaum feminis ini sempat tenggelam dan kemudian aktif kembali pada 1960. Gerakan yang muncul pada tahun ini lebih menggugat peran kaum perempuan di sektor domestik yang dinilai tidak lagi produktif.
Gerakan kaum feminis pada periode ini terinspirasi dari buku berjudul the Feminine Mystiquue (1963) karya Betty Freidan. Dalam bukunya, Freidan mengungkapkan bahwa peran wanita di sektor domestik, yakni sebagai ibu rumah telah menjadikan penyebab utama tidak berkembangnya kepribadian wanita. Pemikiran ini akhrnya memunculkan perspektif negatif terhadap institusi pernikahan. Sebab, konsekuensi pernikahan adalah memiliki anak dan kehadiran anak dianggap sebagai beban.[1]
Perjuangan untuk Keadilan Gender
Sejarah telah mengukir Kota Beijing sebagai tempat penting bagi perempuan sedunia. Perempuan dari beerbagai lapisan telah bersepakat di ibukota Republik Rakyat Cina itu pada september 1995, untuk berjuang mecapai persamaan hak, gender equality
Sebelumnya di Huarou, sebuah kota pariwisata 60km di selatan Beijing, pada waktu menjelang Konferensi Beijing, telah diadakan “NGO Forum on Women” (Forum LSM untuk perempuan) yang diketahui oleh kunying supatra masdit dari Thailand. Tempat itu disiapkan untuk berkumpul menyusun agenda perjuangann, membuat jaringan kerja, dan mempengaruhi keputusan politik yang akan dibuat oleh Konferensi tingkat PBB. Kurang lebihmya 30.000 orang dari seluruh dunia mengadakan pertemuan dan kegiatan dengan dipandu visi yang cukup panjang: “Mengajak perempuan dan laki-laki bersama-sama menghadapi, menciptakan, dan mengubah struktur dunia, serta memprosesnya pada semua tingkatan melalui pemberdayaan dan penghargaan pada perempuan; dan berjanji untuk setia dalam mewujudkan persamaan hak (equality), perdamaian (peace), keadilan (justice), secara bersama dan melalui peran serta penuh dari perempuan dan laki-laki.
Konferensi Mexiko (1975) menghasilkan deklarasi: “Persamaan hak bagi perempuan dalam pengambilan keputusan di bidang politik.” Sejak tahun itu, persoalan gender dimaukkan dalam agenda. Sejak itu pula, makin disadari negara-negaraanggota PBB bahwa kenyataanya Lembaga Swadaya Manusia (LSM,NGO) mempunyai peran serta besar dalam mewujudkan keputusan politik dari PBB.
Konferensi Perempuan Sedunia ke II, yang diselenggarakan di copenhagen 1980, melanjutkan kesepakatan Mexiko untuk membuat Plan of Action. Keputusan yang penting dari konferensi ini adalah kesepakatan bersama untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, atau yang dikenal dengan CEDAW (Convention on the elimination All of Forms of Discrimination Againts Women).
Pada tahun 1985, Konferensi Perempuan Sedunia ke III, lebih mengkonkretkan perjuangan meningkatkan persamaan hak perempuan. Konferensi yang diselenggarakan di Nairobi, kenya itu, memutuskan tentang Forward-Againts Women. Dan sejak itu Kommisi Status Perempuan di PBB berusaha mengkonkretkan strategi kemajuan untuk menghadapi tahun2000.
Dalam menyongsong Konferensi Perempuan Sedunia ke IV, PBB mengadakan konferensi tingkat dunia yang erat kaitannya dengan persoalan perempuan. Pada tahun 1992, di Rio de Janeiro, diselenggarakan konferensi dunnia tentang lingkungan dan pembangunan. Strategi yang diambil perempuan disini adalah parsipasi aktif dalam pengambilan keputusan untuk pembangunan.
Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia yang yang diselenggarakan di Wina 1993, juga diwarnai partisipasi perempuan melalui kesepakatan tentang pengakuan persamaan status dan hak asasi perrempuan.
Pada tahun 1994, Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan pembangunan yang diselenggarakan di Kairo, konverensi ini adalah yang sangat penting bagi perempuan dunia, karena persoalan penduduk berkaitan erat dengan fungsi reproduksi perempuan.
Disinilah Konferensi Perempuan Sedunia ke IV, yang berlangsung di Beijing menjadi penting, karena dari berbagai pertemuan dunia dan berbagai agenda yang telah disosialisasikan ke seluruh dunia, isu tentang perempuan justru tidak berkurang, sementara tingkat peran dan posisi perempuan mengalami perkembangan kualitatif dan kuantitatif yang penting.[2]


[1] Lely Noormondhawati, Islam Memuliakanmu, Saudariku, (Jakarta: PT Elek Media Komputindo, 2013), hlm. 28-29.
[2]Nunuk P. Murniati, Getar Gender, (Magelang : Indonesia Tera, 2004), hlm. 6-8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar