Selasa, 21 April 2015

PERAN ULAMA TERHADAP PENANGGULANGAN KORUPSI



 PERAN ULAMA TERHADAP PENANGGULANGAN KORUPSI 





A.    Pengertian korupsi
             Korupsi merupakan derivasi suap atau money politics. Money politics merupakan distribusi uang kepada pihak tertentu yang ditujukan untuk mempengaruhi obyektivitas sikap dan keputusan suatu pihak.
             Menurut kamus hukum Belanda-Indonesia, korupsi berasal dari kata corrupt yang berarti seleweng (illicit activities).Sementara berdasarkan Webster’s New American Dictionary, korupsi berasal dari kata corruption, artinya kecurangan atau penyimpangan. Kata sifat corrupt sendiri berarti buruk,rusak,atau menyuap.
             Berbeda halnya dengan perspektif lain versi Hanna E. Kassis, dalam bukunya bertajuk The Concordance of the Quran (1983), ia secara spekulatif menafsirkan beberapa term dalam al-Quran sebagai kategori korupsi, yakni kata bur, dakhal, dassa, afsada, fasada, khaba’ith, khubuta dan lainya. Secara garis besar,arti semua kata itu memang berkaitan dengan rusak, kerusakan dan merusak. Misalnya dalam dalam surat al-Baqarah:205 dikatan bahwa “ Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan (korupsi)”. Oleh Hanna Kassis kata “rusak” ini kemudian di-qiyas-kan ke dalam terminologi korupsi yang juga memiliki sifat “merusak”. Dalam Al-Quran sendiri terdapat perintah larangan untuk tidak berbuat kerusakan dan mengganggu keseimbangan sosial maupun alam.

Ada enam istilah yang terkait dengan pemahaman tentang praktik  korupsi berdasarkan verifikasi Syed Hussen Alatas yaitu.
1.      Korupsi transaktif adalah korupsi yang dilatarbelakangi oleh adanya kesepakatan (agrrement) di antara seorang donor dan resipien untuk berkolaborasi mencari keuntungan bagi keduah  belah pihak.
2.      Korupsi ekstortif adalah korupsi yang melibatkan intervensi dan pemaksaan untuk menghindari bahaya bagi mereka yang terlibat atau orang-orang yang dekat dengan koruptor.
3.      Korupsi investif adalah korupsi yang bermula dengan tawaran atau iming-iming yang merupakan “investasi” untuk mengantisipasi adanya keuntungan di masa datang.
4.      Korupsi nepotistik adalah korupsi yang terjadi karena perlakuan khusus baik dalam pengangkatan pada jabatan public tertentu maupun pemberian proyek-proyek bagi keluarga dekat.
5.      Korupsi otogenik adalah korupsi yang terjadi ketika seorang individu pejabat mendapat keuntungan karena memiliki pengetahuan sebagai orang dalam (insider’s information) tentang sebagai kebijakan publik yang semestanya dia rahasiakan.
6.      Korupsi supportif adalah perlindungan atau penguatan korupsi yang terjadi melalui intrik kekuasan dan bahkan kekerasan.

            

B.     Faktor Penyebab Korupsi
Korupsi dalam entitas pemimpin tentu bukanlah realitas yang muncul begitu saja. Secara garis besar, money politics di kalangan pejabat tidak lepas dari beberapa penyebab mendasar yang menjadi akar dan latar belakang kerjadianya. Adapun penyebab-panyebab tersebut antara lain:

a.       Lemahnya Kondosi Tingkat Kesejahteraan
Perilaku politik akan dipengaruhi oleh tingkat kesejahteraan. Karena itu dalam dunia politik, selain ingin berjuang dengan kepentingat rakyat, juga memiliki keinginan memperkaya keadaan ekonominya.
b.      Tradisi Penghormatan Berlebihan Pada Jabatan dan Kekayaan
Dalam konteks hubungan dengan penguasa, kondisi masyarakat yang demikian, cenderung akan melakukan sikap akomodatif dan penghormatan berlebihan. Dalam kedekatan inilah, sirkulasi money politics akan muncul dengan mudahnya tatkala permainan kepentingan telah dimulai.
c.       Budaya Feodal
Kekuatan kharisma secara tidak langsung talah menciptakan ruang feodalistik, di mana pejabat memiliki otoritas superior di hadapan para pengikutnya. Sehingga dalam interaksinya, meniscayakan adanya budaya ta’zim penghormatan kepada atasanya, bentuk ta’zim juga dapat diwujudkan dalam bentuk pemberian kepada atasanya. Pemberian inilah yang dalam konteks tertentu memerankan fungsinya sebagai money politics.             
d.      Lemahnya Pengelolaan Manageman
Sudah bukan rahasia lagi jika seperti instansi daerah lemah dalam strategi dan manegeman pengelolaanya. Faktor-faktor yang melatarbelakangi problem ini di antaranya adalah system administrasi yang tidak jelas dan ketidakdisiplinan atau cara pengelolanya tidak teratur.
e.       Konflik Perebutan Legimitasi Kultural
Dalam konteks pejabat daerah misalnya, masing-masing pihak akan melakukan perbaikan material bangunan maupun fasilitas kantor untuk menunjukkan bahwa gedung mereka  memiliki kualitas yang lebih di bandingkan gedung lain.Adanya kebutuhan akan biaya konflik inilah, masing-masing pejabat akan mencari lahan rizqi sebanyak mungkin.Hingga kemudian wilayah politik praktis menjadi salah satu pilihan yang dilirik pejabat. Di sinilah keberadan money politics dalam beragam bentuknya cukup membantu serta memiliki peran penting dalam melanggengkan konflik  pejabat.

C.    Peran Ulama Dalam Menanggulangi Korupsi
     
Pembuatan peraturan perundangan dalam kerangka penguatan pemberantasan korupsi juga membutuhkan ulama. Ulama memiliki peran strategis dalam mendidik masyarakat dan menanamkan sikap kejujuran anti korupsi. Untuk memperkuat penerapan efek jera telah beberapa kali muncul sebagai ide, tetapi pemberatan hukuman untuk koruptor belum direalisasi.
. Misalnya berkembang gagasan agar jenazah koruptor tidak dishalati. Secara progresif ide ini dimaksudkan untuk memberi pemberatan secara spiritual sekaligus secara sosial. Tetapi bagai mana seterusnya Ceramah, Khutbah, dan Pengajian.
Materi dakwah tentang perang melawan korupsi juga sudah banyak di sampaikan oleh para ulama. Memang ikhtiar preventiflah yang secara optimal bila dilakukan lewat peran ulama. Pendidikan karakter yang sekarang di kampanyekan kita tentu tidak lepas dari peran warsatul anbiya’ atau para pewaris nabi, itu secara langsung atau tidak langsung di dalamnya terangkum nilai-nilai kebajikan. Penguatan dan sisi membangun akhlak sosial itulah yang mesti di tekankan dalam pengajaran-pengajaran sosial agama terutama yang terkait dengan karekter anti korupsi.


D.    Pemimpin Yang Efektif

Kepemimpinan efektif adalah kepemimpinan yang sang pemimpin menerjemahkan fungsinya dengan perilaku. Efektifitasnya  bukan karena seruan yang membuat telinga tuli, atau teriakan yang memekakan dan menggema di mana-mana, tetapi terletek pada perilaku yang memperkaya pembicaraan, menerjemahkan tugas kepemimpinan   dalam suasana penuh kehati-hatian dan ketenangan.
Dari pembahasan tersebut dapat kita rumuskan bahwa kepemmimpinan efektif adalah bukan sekedar pusat kedudukan atau kekuatan tetapi merupakan interaksi aktif yang efektif. Dalam kepemimpinan seorang pemimpin harus mempunyai sifat-sifat. Muncul teori baru mengenai kepemimpinan yang menjelaskan kepemimpinan itu sendiridalam kumpulan sifat-sifat yang dimiliki oleh pemimpin-pemimpin yang berpengaruh, tanpa memperhatikan kondisi. Apabila kita ingin memilih seorang pemimpin , maka kita harus mencari orang-orang yang memiliki sifat-sifat ini.
Penelitian-penelitian terbaru menunjukkan kepercayaan mayoritas institusi di Barat dan di Timur terhadap hal ini ada aktifitas mereka untuk memilih pemimpin-pemimpin serta mangembangkannya sesuai dengan teori ini.
Maschane dalam bukunya Behaviour Organizational yang terbit pada tahun 1998 meringkas ada tujuh sifat-sifat kepemimpinan.

1.      Motivasi adalah keinginandalam diri yang dimiliki oleh seorang pemimpin untuk menggunakan kekuatanya dalam menggerakan seseorang mencapai tujuan-tujuan mereka dengan menggunakan hubungan-hubungan sosial dan kemanusian.
2.      Personalitas : Motor penggerak yang mendorong seorang pemimpin menuju tujuan.
3.      Kredibilitas : Jujur, teladan, serta kesesuaian antara perkataan dan tindakan, sehingga melahirkan kepercayaan para pengikut.
4.      Percaya diri :  Keyakinan memimpin akan keahlian dan potensinya dalam meraih tujuan dan bertindak dengan cara yang membuat para pengikut percaya terhadap kemampuanya.
5.      Intelegensi : Kecerdasan di atas rata-rata manusia biasa dalam menangani tumpukan informasi dan menganalisanya agar sampai kepada solusi-solusi pengganti dan memanfaatkan kesempatan yang tidak tampak
6.      Menguasai permasalahan: Pemimpin harus menguasai permasalahan yang dikendalikannya, termasuk juga kondisi dan lingkungan tempat ia bekerja, sehingga ia sampai ke derajat pemahaman karakteristik keputusan-keputusan yang sesuai dan mengambil atau menolak usulan-usulan yang di ajukan.
7.      Pengawasan diri: Pemimpein yang efektif memiliki control diri yang memungkinkanya untuk merasakan setiap perubahan yang ada di sekitarnya walaupun sangat kecil.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar